©loeyhunJ4d

An alter universe

eighth chapt. -

“Lesh, makan dibabeh kan?” Fabian berbicara kepada Alesh yang berada didepannya, Alesh menganggukkan kepalanya.

“Tapi gue mau ke coffee shop bawah dulu kayanya, sama mau ke indomaret sampingnya sama Anesh, lo nitip gak?” ucap Alesh bertanya kepada Fabian yang memang bangku tempatnya duduk ada dibelakang dirinya dengan Anesh, Fabian menggelengkan kepalanya,

“Lo mau nitip gak tuh Day?” Fabian menolehkan kepalanya kepada teman sebangkunya itu, Dayana, yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Dayana.

“Day ikut makan dibabeh?” ucapan Alesh langsung dibalas anggukan oleh Fabian dan Dayana secara bersamaan, membuat Alesh hanya menganggukkan kepalanya,

“Seriusan deh, lo pada mau ngobrol aja disini sampe jam istirahat selesai?” ucap Anesh dengan suara yang memang sedikit agak ketusnya, Alesh hanya tersenyum dengan miring dan menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Anesh yang sedikit jutek,

“Gue duluan yaa,” ucap Alesh kepada Fabian dan Dayana.

Fabian hanya mengangkat kedua bahunya kala Dayana mengalihkan pandangannya kepada dirinya.

“Kalian lama banget jujur,” suara Kayana menginterupsi mereka, “Reyga udah nungguin didepan,”

“Kak Reyga, Kay. Dia kakak kelas kita, if you forget,” Dayana mengoreksi ucapan Kay seraya mengambil vitamin yang ada dikantung depan tasnya,

“Well umur dia sama kaya kita, jadi ya Reyga, kan?” Kayana membalasnya ucapan Dayana seraya menengokkan kepalanya kearah sahabatnya itu, dan hanya dibalas gelengan kepala oleh Dayana,


Dayana duduk dengan sedikit gelisah dibangkunya, bagaimana tidak ia sekarang satu meja dengan beberapa anak yang cukup memiliki pengaruh disekolah ini,

“So, jadi yang sepupuan sama Rey tuh Kayana? Bukan Dayana?” Deo bertanya kearah Kayana dan Dayana, setelah sesi perkenalan yang telah mereka lewati,

Dayana hanya menganggukkan kepalanya, “Lo udah nanya itu 2 kali tau kak,” balas Kayana kepada Deo,

“Tapi emang yang lebih pantes jadi sepupunya Rey, si Dayana sih Kay, soalnya entah kenapa mereka sedikit mirip,” ucap Aydhan yang baru saja menaruh mangkuk baksonya dan duduk disamping Edhan yang langsung membubui mangkuk bakso yang dibawa oleh Aydhan, “Jangan banyak banyak sambelnya, lo tau gue gak sekuat lo ya Ed,”

Reyga yang melihat interaksi Ay dan Ed hanya menggelengkan kepalanya, “Lagian lo berdua kenapa makan satu mangkok berdua gitu sih?” ucapannya langsung membuat kedua mata yang ia bicarakan menatapnya,

“Itu udah kebiasaan mereka kalau makan baso, pasti berdua, soalnya Aydhan gak pernah bisa bumbuin kuah baso punya orang seenak punya dia, jadi gitulah,” ucap Affandra menjelaskannya,

“Day kalau bumbuin baso orang enak tuh Ed, minta dia aja,” ucap Fabian kepada Aydhan dan Edhan, yang langsung membuat Dayana menengokkan kepalanya kepada Fabian,

“Coba, boleh gak?” ucap Edhan yang langsung menghampiri mangkuk baso Dayana tanpa basa-basi,

Deo menepuk punggung Edhan ketika ia sudah berada disamping Dayana, yang memang berada didepan Deo itu, “Kebiasaan, tanya dulu baru nyamperin” ucapnya dengan tangannya yang masih berada dipunggung Edhan,

“Santai aja Day sama kita, kita gak gigit kok,” ucap Affandra seraya menyuap nasi gorengnya dengan tidak mengalihkan tatapannya kearah buku bacaannya saat ini,

Aydhan menganggukkan kepalanya, “Santai aja, dari tadi lo tegang banget soalnya,”

“Dayana emang gitu mas, kalau sama orang baru, ya gak Kay?” ucap Alesh yang baru datang bersama Anesh kepada Kayana yang memang sudah dikenalnya terlebih dahulu karena pernah satu sekolah dasar dengannya, Kayana mengagukkan kepalanya,

“Ohh gitu, well berarti kita harus sering makan bareng gak sih?” ucap Deo yang langsung disetujui oleh mereka yang berada dimeja itu.


“Seru kan?” tanya Kayana yang baru keluar dari bilik toilet, yang langsung mengalihkan pandangan kearah Dayana,

Dayana mengangkat kedua bahunya, “Little,” ucapnya dengan gestur tangannya kearah Kayana,

Kayana memutar bola matanya tanda tak setuju kepada Dayana, “Just admit it Day, lo tadi ketawa seru banget gitu kok, and for your information mereka semua anak organisasi,”

Dayana menatap Kayana dari cermin yang berada didepannya, untungnya toilet yang sedang mereka tempati memang hanya ada mereka berdua saja, “Affandra aka yang tadi baca buku dunia sophie itu ketua osisnya, terus kembarannya Deo itu dia anak band sekolah, drummernya, terus Aydhan itu ketua club fotografi, terus kembarannya Edhan or Ed dia ketua tim basket, panahan, dan futsal,”

“Waw....”

Yes waw... tapi ya gitu lah, mereka sering banget kena masalah tapi ya masalahnya juga karena saling ngelindungin satu sama lain,” ucap Kayana menjelaskan kepada Dayana.

OH MY FUCKING GOD, lo liat base gak, masa Dayana si anak-” ucapan perempuan itu terhenti kala ia melihat Dayana dan Kayana ada didalam toilet itu,

Kayana memutar bola matanya tanda muak kepada perempuan didepannya itu, “Ayo kekelas,” ucap Kayana menarik tangan Dayana dengan sedikit menyenggol bahu perempuan yang tadi membicarakan Dayana.

Sabina-nya. —

Setelah memastikan pintu kamar kosannya terkunci, Sabina atau yang akrab disapa Binbin ini segera turun kelantai bawah rumah kosannya itu, menghampiri seseorang yang memang sedang menunggunya didepan gerbang kosannya,

“Hai,” sapa laki-laki dihadapannya seraya tersenyum manis kepada Sabina,

“Hai, aku lama ya jar turunnya? Maafin.. huhu” ucap Sabina kepada Fajar, seseorang yang memang telah lama menunggunya tadi,

Fajar menggelengkan kepalanya pelan, lalu memakaikan langsung sabuk pengaman kepada Sabina, dan mengambil sebuah selimut bulu halus berwarna abu-abu dan menaruhnya diatas pangkuan Sabina, kebiasaannya saat Sabina menjadi penumpang utamanya, memberikan selimut agar wanitanya itu nyaman dikursi penumpangnya.

“Kamu udah makan? Atau gimana?” Fajar menanyakan hal tersebut seraya melajukan mobilnya beranjak dari depan gerbang kosan Sabina,

“Kita gak ke rest area gitu emang?”

“Janjian sih sama anak-anak direst area sentul, tapi kan kita gak tau ada makanan apa disana, Bin.” ucapnya seraya menengok kearah perempuan yang sedang melihat kearah jendela dengan wajah berpikirnya,

“Bin?” Fajar mengambil tangan Sabina secara tiba-tiba, membuat sang empunya terkejut, “Kangen,” ucapnya dengan suara lemah seraya megecup telapak tangan Sabina dengan pelan,

“1 sampai 100, udah sampe mana jar persiapannya?” ucap Sabina yang sebenarnya masih salah tingkah karena perbuatan laki-laki disebelahnya ini yang masih setia menggenggam tangannya, dengan satu tanggannya fokus menyetirkan laju mobil,

“Hmm I think..” ucapan Fajar terputus sehingga membuat Sabina menengok kearahnya, sang empu ternyata sedang berpikir untuk melanjutkan kalimatnya, “60-75% sih, tapi I'm not that sure,” ucap laki-laki itu seraya mengecup lagi tangan Sabina dengan singkat,

“Ganti handlotion ya Bin?” ucap Fajar yang membuat sang pemilik tangan sedikit terkejut karena ditanya perihal hal kecil seperti ini, walaupun sebenarnya ia sangat mengetahui bahwa sang kekasihnya ini memang penikmat detail dari setiap hal disekitar lingkungannya,

Sabina menganggukan kepalanya seraya tersenyum kearah Fajar, “Gak enak ya wanginya? Aku direkomendasiin Hana gitu soalnya bulan lalu,” ucapnya seraya mengendus wangi tangannya yang terbebas dari genggaman,

Fajar langsung menggelengkan kepalanya, “Apapun yang kamu pake aku selalu suka,” ucapan Fajar diakhiri dengan senyuman seraya mengecup pelan telapak tangan Sabina lagi dengan masih memandang fokus kearah depannya,

Sedangkan Sabina yang sedari tadi diperlakukan seperti itu hanya berdiam saja seraya jantung didalam tubuhnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, ia tidak bersiap akan sikap Fajar yang manis seperti ini,

Selama hampir 4 tahun mengarungi hubungan bersama laki-laki disebelahnya ini, memang Fajar adalah tipe laki-laki yang akan manis jika sudah bertemu secara langsung seperti ini, dan akan singkat atau bahkan terkesan cuek jika hanya melalui chat saja, tapi tetap saja beberapa sikap manis Fajar masih belum membuat seorang Sabina terbiasa,

Fajar akhirnya bertanya perihal beberapa hal tentang pekerjaan Sabina saat ini, walaupun setiap malam sudah mendengar celotehan panjangnya, tapi itulah Fajar, selalu menaruh ketertarikan lebih jika sudah berhubungan dengan kekasihnya, Sabina Bintang.

Ah, lebih tepatnya Sabinanya kata Fajar.


Fajar dan Sabina turun dari mobil yang mereka tumpangi selama 1 jam lebih itu, dengan Fajar yang memakai hoodie berserta topi dan kacamata hitamnya, sedangkan Sabina memakai topi yang memang tadi diberikan oleh Fajar.

“Halo ibu Sabinaa,” suara sapaan menyambut dua insan tersebut ketika mereka mendekati meja dipojokan kedai kopi terkenal itu yang memang disana sudah dipenuhi oleh beberapa orang sedari tadi,

Sabina pun tersenyum, lalu memeluk Harvey yang memang menyapanya, Harvey, yang akrab disapa Ape ini, dan dirinya memang merupakan 2 orang sahabat sedari mereka masih ditaman kanak-kanak bahkan dari Harvey lah kedua insan yang baru saja datang tadi bisa dapat mengenal satu sama lain hingga memiliki keterikatan satu sama lain sejak kuliah.

Arzhao yang merupakan kekasih Devano yang memang sudah mengenal Sabina sejak dibangku SMA langsung menghampirinya dan memeluknya, “Kangen ih, sibuk banget sih mbak pelukis satu ini,” Sabina hanya tertawa menanggapi ucapan Arzhao yang sedang memeluknya erat ini,

“Lagi banyak pesenan soalnya,”

“Eh iya Bin, lo nerima custom paint gitu gak sih? Yang dari foto gitu,” ucap Mahendra, crew bagian creative dari Drea,

“Nerima kok, kenapa?” jawabnya kepada Mahendra yang membuat Mahendra langsung menghampirinya,

“Guys guys, kenalin ini Dara, dia yang bakal jadi model video klip yang take disentul dan bandung, dan dari sini dia ikut kita yaa,” beberapa crew hanya menganggukkan kepalanya, tanda mengiyakan saja.


Setelah membicarakan beberapa hal seraya makan siang, para crew band Drea berserta para member band Dreapun meninggalkan lokasi tersebut lalu melanjutkan perjalanan mereka,

Sabina dan Fajar telah masuk kedalam mobil mereka, dengan sudah lengkap memasang sabuk pengaman masing-masing, “Jar, tadi yang jadi model siapa namanya?” ucap Sabina seraya memainkan handphonenya,

“Dara,” ucap Fajar tak acuh seraya bersiap menjalankan mobilnya,

“Cantik banget ya di-,” ucapan Sabina langsung terhenti kala Fajar mendekatkan tubuhnya kearahnya, dengan satu tangannya memegang kepala jok Sabina, seraya menengokkan kepalanya kebelakang, ah ini memang kebiasaan Fajar jika ingin memundurkan mobilnya, tapi tetap saja itu masih hal yang membuat jantung Sabina berdetak tidak karuan,

Tiba-tiba Fajar melepas sabuk pengamannya, dan mengecup dahi, pipi kanan dan juga bibir Sabina dengan pergerakan cepat dan juga singkat, “Masih jauh lebih cantik kamu sama Ibu,” ucapnya seraya menjauh lalu memasang lagi sabuk pengamannya, dan melajukan mobilnya,

Jika kalian menanyakan keadaan Sabina sekarang, ia masih mematung, sedangkan dirinya yang berada didalam sudah meleleh berserakan.

Fajar yang menyadari itu hanya terkekeh karena merasa hal tersebut yang membuatnya semakin jatuh kepelukan perempuan disampingnya itu.

Sabinanya memang akan selalu menjadi orang yang akan dia pilih untuk jatuh sejatuh jatuhnya.

seventh chapt. — Byantara terus menghela napasnya kala seorang wanita yang seumuran dengan ibunya disampingnya ini terus bergumam jengkel,

Wanita itu menghela napasnya, “Pantas aja adeknya kelakuannya preman gitu kakaknya aja penampilannya gini, orang tuanya gak bener banget sih ngajarin anaknya,”

Final. Kata-kata terakhir memuakkan yang berhasil Byantara dengar, “Anda kalau tidak tau apa-apa tolong diam saja, anda tidak berhak menghakimi seseorang hanya karena penampilannya,”

“Cih angkuh sekali, kamu itu masih muda, tau apa kamu? Awas aja saya suruh suami saya untuk mengeluarkan adik kamu itu,” ucap wanita yang memakai blouse kuning pudar dengan tas dengan tulisan brand ternama dan beberapa aksesoris yang ia pakai,

“Bu Jihan tolong tenang ya, biar kan ini diselesaikan dengan kepala dingin,”

“Gak bisa! Anak ini dan adiknya sudah kurang ajar. Dia bisa-bisanya ngelawan perkataan saya. Apalagi adiknya itu hih so jagoan disini, apa dia tidak tau kalau suami saya ini pemilik sekaligus ketua yayasan sekolah ini?”

“Tidak saya dan adik saya tidak tau siapa anda dan suami anda,” ucap seseorang berperawakan wajah yang tegas dan mata yang tajam seraya masuk kedalam ruangan konseling sekolah Neo Jaya School itu, “Selamat siang, maaf saya terlambat walaupun sudah diwakilkan, tapi saya wali sahnya Edhan Samudera, saya Ramadella Ananta,” ucap Rama menjabat tangan seorang guru yang berada ditengah antara Byantara dan seorang wanita bernama Jihan ini,

“Kalau anda tidak keberatan, silahkan panggil suami terhormat anda kesini, ibu?” Ramadella menoleh dengan wajah bertanyanya,

“Jihan.”

“Ya, ibu Jihan, silahkan,”

Guru yang sedang memperhatikan mereka merasa salah tingkah dan bingung harus seperti apa, “Ah pak Rama, saya rasa tidak perlu sampai memanggil bapak Budi sampai kesini,”

“Ah tidak apa, bu Yani, saya tidak keberatan untuk menunggu lagi,” Ramadella menyolek bahu Byantara untuk menyuruhnya menunggu diluar ruangan, “Kamu keluar aja,” yang ditunjukpun segera mengangguk dan keluar ruangan, setelah sebelumnya berpamitan,

Tak lama berselang seorang pria berpakaian formal masuk kedalam ruangan, “Ada apa ini mah? Sampai menelfon papah?” ucapnya kepada seorang wanita yang duduk disamping Ramadella,

Guru yang disanapun hanya bisa diam saja tidak bisa berkata-kata, “Ini pah, hih males banget mamah, ini kakak dari anak yang buat Reza babak belur sampai 2 kali itu, mereka sok mau ketemu papah,”

Pria itu lalu melihat kearah Ramadella, dan melihatnya dari atas sampai kebawah, “Sudah merasa jagoan anda ingin bertemu saya? Apa anda ingin adik anda dikeluarkan dari sekolah ini?” ucap pria yang masih berdiri itu menatap Ramadella,

Ramadella mendengus lalu terkekeh, “Halo pak? Budi, ya halo pak Budi, ah tapi sebaiknya kita berbincang menunggu seseorang lagi ya. Bagaimana bu Yani?”

“Halah bertele-tele kamu, sudah bu Yani keluarkan saja anak itu, tidak perlu berdiskusi,”

Tiba tiba seseorang berperawakan yang sangat dikenali oleh Ramadellapun muncul dibelakang pria yang sedang memencak Ramadella, “Ah ini dia orang yang saya tunggu,” seseorang yang Ramadella maksudpun langsung menunduk, dan ucapan Ramadella berhasil membuat ketiga orang yang lainnya ikut menengok kearah pandangan Ramadella,

“Loh? Pak Putra? Ada apa bapak kemari?” ucap sopan pria yang tadi sangat aktif memarahi Ramadella, Budi. Ia langsung menghampiri Putra yang masih berada diambang pintu dan menunduk dengan sopan,

“Loh? Anda kenal dengan mas Putra? Wah kebetulan sekali ya,” ucap Ramadella dengan seringai mengejeknya.

Ketiga orang itu menampakkan wajah yang cukup terlihat bingung,

“Maaf pak Rama, biarkan saya yang menyelesaikan” ucap Putra sambil menunduk memberi hormat kepada Ramadella,

Ramadella menjulurkan tangannya kepada Budi yang berada disebelahnya, “Ramadella Ananta Kentara, pemegang Kentara Group Company, atau bisa dibilang saya bos dari bos anda? Karena secara susunan yayasan anda berada dibawah K+ Foundation, dan K+ berada dibawah Kentara Group, betul begitu mas Putra?” Ramadella mengalihkan pandangannya kepada Putra,

“Betul pak,” ucap Putra kepada Ramadella,

“Saya ingin anaknya keluar, dan cabut dia dari jabatannya sekarang, kita punya 75% hak disinikan?” Ramadella mengalihkan pandangan tajamnya kepada Budi dan istrinya, “Ingat Putra, there is no second chance for anyone who messing up with my family,” ucap Ramadella lalu berlalu meninggalkan ruangan tersebut.

“Telfon mas Kayvan, gausah kesini,” ucap Ramadella kepada Byantara yang memang masih menunggu diluar, dan berlalu bersamaan meninggalkan sekolah itu.

sixth chapt (2/2). — Baru saja ia ingin melemparkan tubuhnya yang lelah keatas tempat tidurnya, handphonenya berdering, menunjukan ada panggilan masuk dihandphonenya, Dayana menghela napasnya dengan perlahan kala melihat nama yang tertera dilayar handphonenya tersebut, pasalnya ia masih bingung harus menceritakannya atau tidak.

Iya, sahabatnya itu, yang sedang menelponnya terus menerus ini telah mengetahui bahwa dirinya terluka karena tadi ketika ia sedang menangis, Kayana tiba-tiba saja menelponnya, alhasil Dayana tidak bisa mengelak apapun itu.

Day?” ucap seorang Kayana dengan lembut,

Dayana hanya bisa membalasnya dengan gumaman tidak jelasnya,

Suara helaan napas disana terdengar jelas, “Ayo cerita, gue mau tau gimana,” ucap suara disebrang telfon dengan masih menggunakan nadanya yang lembut, pasalnya Kayana tau bahwa sahabatnya ini dikala sedang tidak enak pada dirinya atau sedang ada masalah, seorang Kayana tidak bisa memposisikan dirinya menjadi sebuah api yang menggebu.

Dayana mengehela napasnya perlahan, seraya dirinya mengucapkan doa didalam batinnya agar dapat selamat dari amukan kejam sahabatnya ini, “Jadi gini, tadi kan awalnya kita janjian tuh mau masak masak, tapi gak jadi karena lo mau nemenin mamih kan, yaudahlah akhirnya tadi gue kebablasan sampe closing yang bener-bener tutup cafe, itu sekitar setengah 11 or jam 11 ya, lupa deh pokoknya, long story short pulang kan gue, sampe depan gang, ya you know gang menuju kosan gue sempit gelap gitu kan, yaudahlah tuh gue jalan sampe akhirnya ternyata ada yang ngikutin,” ucapan Dayana terhenti sebentar, ia mengambil napasnya perlahan, lalu menghela napasnya lagi dengan perlahan pula,

Dayana mengelap sudut bibirnya, “Day?Halloww Dayanaa, Lo masih disitu kan?” suara Kayana terdengar dari handphonenya,

Dayana pun melanjutkan perbincangannya “Hmm iya gue masih disini, gue lanjut ya ndorooo, pokoknya alhasil ya gue makin cepet lah ya, terus tiba-tiba mereka nangkep tas gue, sambil ngacungin pisau lipat gitu, ya gue gak terima lah ya tas gue isi barang berharga diambil, sampe akhirnya pas mereka mau kaya ngeraih tubuh gue eh tiba tiba ada cowo dateng, nolongin gitu lah, cuman kaya tiba-tiba tuh rampok agresif gitu loh kaya mau banget nyentuh badan gue, alhasil pas gue menghindar kena goresan pisau lipat, blabla akhirnya yaudah ditolongin sama itu cowo, luka gue sementara dibalut sama sapu tangannya dia terus dibawa ke rumah sakit, tapi anehnya tuh, pas gue udah selesai itu cowo udah gak ada, dan biaya rumah sakit gue udah dibayar,” ucap Dayana langsung menghela napasnya kasar dan meneguk air mineral yang ia buru-buru ambil setelah menyelesaikan ceritanya,

Kayana menghela napasnya diusung teleponnya, “Ganteng gak?” suara kekehan terdengar setelah pertanyaan Kayana diujung sana,

Dayana ikut terkekeh ketika mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu, “Lebih penting muka si cowonya daripada sahabat lo yang luka ini?”

“Yaa enggak sih, cuman gue kepo aja gitu, kaya cerita prince charming di dongeng gitu gak sih?” ucap Kayana yang diakhiri dengan tawanya pula

Dayana hanya ikut tertawa dan ikut larut bercerita selanjutnya tentang apa yang terjadi setelah kejadian itu, dengan Kayana yang masih setia mendengarkan celotehan cerita dari sahabatnya pula.

sixth chapt (½). —

Gadis dengan pakaian kaos hitam bergambar beruang kecil, lalu dipadu dengan skinny jeans itu, akhirnya menginjakkan kakinya ke lantai permukaan kamar kosnya,

Tubuhnya langsung luruh kepermukaan lantai kala dirinya telah tersadar ketika merasakan hawa dingin permukaan lantai kamarnya, tatapannya masih kosong, dirinya masih mencoba memproses semua hal yang baru saja terjadi padanya,

Seketika tubuhnya bergetar, kepalanya menunduk masuk kesela kakinya yang sudah ia tekuk, Alsava, Alsava Dayana menangis seraya menahan rasa sakit yang ia peroleh dibagian lengan atasnya ketika obat bius yang tadi disuntikkan oleh dokter dirumah sakit perlahan menghilang, “Bunda.... Bunda kenapa harus ninggalin Day sendirian? Kenapa Bunda gak ngajak Day aja?” Dayana menggumamkan ucapannya dengan suara terisak dan bergetarnya.

Apa yang mereka mau dari gadis miskin kaya gue sih, ucap batinnya dengan nada kesal disela isakan tangisnya.


Seorang laki-laki dengan perawakan wajah yang tampan dan tegas dengan tinggi yang tidak terlalu menjulang, berjalan dengan santai seraya menyampirkan jas putih kebanggaannya dilengan sebelah tangannya,

Kepalanya menggeleng pelan kala ia melihat sosok yang sangat dikenalinya telah berada didepan ruangannya seraya memainkan smartphonenya, kala langkah kakinya telah hampir mendekati sosok tersebut, sosok yang dihampirinya langsung menolehkan kepalanya kearah dirinya, “Lama banget sih lu operasi,” ucap sosok yang sudah berada didepannya itu, Kayvan, Kayvan Tian.

“Ya lagian bisa besok anjir. Kenapa sih lo semangat banget,” Dion merogoh saku jas putihnya guna mencari kunci untuk membuka pintu kayu yang kini sudah didepannya,

Kayvan mendengus, “Lo kaya gak tau mas Rama aja sih,”

Dion terkekeh, ia telah hapal bagaimana karakter kakak tertua dari sahabatnya itu, “Lagian ya, si Daven kan masih di milan, ga mungkin kan lo gak nungguin dia.”

Kayvan hanya mengedikkan bahunya saja, “Nih,” Kayvan menyerahkan sapu tangan biru dongkernya yang sudah ada didalam plastik ziplok, “Buat sample satunya besok gue langsung anterin ke lab lo aja ya?”

Dion memperhatikan sapu tangan yang dibalut plastik ziplok yang berada ditangannya tersebut, “Lo gak lakuin hal konyol kan buat ngedapetin ini?”

Kayvan hanya tersenyum memperlihatkan seluruh deretan giginya kepada Dion, “Udah ya cabut gue, udah mau jam setengah 2 ini, Lo bawa mobil?”

Dion menggelengkan kepalanya, “Gue bawa motor bang Karel, tadi agak buru-buru soalnya,”

Kayvan menganggukkan kepalanya, “Oke deh, cabut ya. Besok gue anterin sample satunya lagi, sekalian cerita, maybe” ucap Kayvan seraya berlalu keluar dari ruangan Dion.

roller coaster. — Devano keluar dari studio dengan sebatang rokok ditangannya yang hendak ia nyalakan, dihisapnya gulungan tembakau yang diapit dengan jarinya itu, lalu dihembuskannya asap yang dibuat dari sebatang gulungan itu, dihembuskannya dengan perlahan kebulan asap yang dibuat oleh gulungan itu, seraya matanya mengadah keatas menatap langit yang berada diatas sana,

“Tumben lu ngerokok, biasanya kagak,” ucap seseorang yang tiba-tiba saja telah berada disamping tubuhnya seraya menyalakan sebatang rokok ditangannya seperti yang Devano lakukan tadi,

Devano menyeringai seraya mengangkat kedua bahunya, “Au dah napa, rasanya kaya sepet banget hari ini,” ucapnya seraya menatap kedepan, menatap sebuah cafe yang sudah tutup sedari tadi, pasalnya memang kini waktu telah menunjukkan pukul setengah 2 malam bagian Bandung timur,

“Gak kerasa ya dev, udah lama banget dah kita ngeband, terus udah ngeluarin full album gini aja,” ucap Edgar, yang memang sedari tadi ikut berdiri dengan badannya ia tumpukan pada sebuah mobil putih bermerek Fortuner milik salah satu sahabatnya yang memang tepat berada dibelakang tubuhnya itu,

Devano mengangguk, seraya menghisap kembali rokok yang berada ditangannya, “Ngerasa gak sih gar?” ucapannya berhasil menarik atensi Edgar yang langsung menatap sahabatnya itu dengan wajah bertanya, “Makin nambah umur, pikiran tuh makin ruwet banget, padahal anjir lah gue baru 23 tahun, nikah aja belum, tapi kaya otak gue penuh banget dah.” Devano terkekeh mengakhiri keluhannya,

Edgar ikut terkekeh mendengar keluhan sahabatnya itu, membenarkan semua keluhan dari Devano karena memang ia mengalami hal serupa pula saat ini, “Padahal tiap hari kerjaan cuman makan, tidur, ngeliat socmed, terus ke studio.”

Devanopun ikut terkekeh lagi menandakan ia setuju oleh sahabatnya itu seraya menunjuk Edgar dan menganggukkan kepalanya,

“Makin dewasa otak lo makin bercabang, udah bukan lagi mikirin tentang besok, tapi mikirin tentang gimana tahun depan, 2 tahun lagi, 3 sampe 4 tahun lagi, terus yang dipikirin juga gak cuman satu bidang doang,” ucap Marcello tiba-tiba dari belakang yang langsung berdiri disamping kiri Devano seraya menyesap kaleng soda yang dibawanya,

“Sebenernya gak kerasa banget sih bang, tiba-tiba udah become twenty gituloh, dan sekarang gue sama Je udah mau 22,” ucap Bernando yang bergabung pula diikuti bersama Jaffar yang sedang mengisap vapenya, dengan kaleng soda ditangan kirinya.

“Lo berdua baru mau 22, gue sama Ape udah mau 23, ini para 3 abang udah mau 25 aja. Bener ya kata orang hidup tuh cepet banget anjir,” ucap Fajar yang baru saja keluar dari studio langsung bergabung dengan para sahabatnya itu.

Ape terkekeh mendengar obrolan para sahabatnya yang memang ketika sudah mulai memasukki pukul 2 pagi sudah mulai terasa berat, “Dulu aja lo mau banget umur cepet 20 tahun, pas mau mendekati ke umur 20 tahun mikirin segala cara, gimana caranya survive di umur 20 tahun, eh sekarang udah 20 tahun lewat, mikirin bakal gimana kedepannya,”

Keenam orang yang lainnya pun hanya terkekeh menandakan setuju pada ucapan yang baru keluar dari mulut seseorang yang terbiasa penuh canda itu, Harvey atau biasa disapa dengan akrab dengan sapaan Ape itu.

“Jadi dewasa dengan umur tuh seru, kaya naik roller coaster, naik turun, berliku, tapi tetep aja lo bakal tetep mau naik lagi dan lagi, dan pas naik lo tetep menikmatinya, yaa tapi kalo mental lo gak kuat naik, yaa ancur lo bakal dibawa terombang-ambing ngikutin arah relnya doang dan pada akhirnya lo bakalan muntah gara-gara mual karena gak siap, ya gak?” ucap Marcello menghisap rokok yang berada ditangan Devano ketika sang empu meminum minuman soda miliknya.

“Terus abis itu lo cuman bisa duduk, dan gak bisa ngerasain semua wahana,” Edgar menimpali ucapan Marcello seraya menghisap dengan kuat rokok yang diapit jarinya itu,

Ape mendengus lalu terkekeh memandang kepada keenam sahabatnya, “Hidup tuh terlalu lucu buat lo seriusin cuy,”

“Tapi terlalu serius juga buat diketawain,Pe,” ucap Fajar seraya menepuk pundak Ape untuk menimpali ucapan Ape tadi.

“Tapi bang, gue takut naik roller coaster,” ucap Jaffar dengan polosnya secara tiba-tiba, membuat tawa keras keluar dari keenam sahabatnya yang lain, yang secara tidak langsung mereka menjadi seorang sosok saksi bisu dari pertumbuhan kedewasaan satu sama lain.

Devanopun menatap kearah para sahabatnya sekaligus anggota band yang memang sedang ditekuninya saat ini, sedang tertawa seraya menunjuk kesatu sama lain mengenang beberapa kisah yang telah mereka alami selama hampir 8 tahun mengenal satu sama lain, Tapi seenggaknya sama kalian, gue gak perlu khawatir gimana ngadepin pendewasaan yang suka bercanda dan nyiksa, ucap batinnya seraya menghisap kembali gulungan tembakau yang tersisa dan ikut terkekeh dengan candaan para sahabatnya.

“Jadi dewasa dengan umur tuh seru, kaya naik roller coaster, naik turun, berliku, tapi tetep aja lo bakal tetep mau naik lagi dan lagi, dan pas naik lo tetep menikmatinya, yaa tapi kalo mental lo gak kuat naik, yaa ancur lo bakal dibawa terombang-ambing ngikutin arah relnya doang dan pada akhirnya lo bakalan muntah gara-gara mual karena gak siap.....”

Alee, tebak aku hari ini bakal kemana? HEHEHE betul! Ke kota favorit kita, Bandung.

Hari ini aku ada shooting untuk main track album DREA yang baru, Le. Iya, album baru!! Hahaha akhirnya setelah satu setengah tahun DREA vakum untuk healing masing-masing, kita balik lagi buat nyapa mereka seperti sebelumnya, Le.

Aleaa, kamu apa kabar disana? Baik kan? Ciee disana gak ada yang makanin kacang almond madu kamu lagi ya hehehe, udah gak ada lagi yang makanin snack favorit kamu...

Aleaa, kalo Bernand rindu, boleh kan?

fifth chapt. — Wendy seketika menghentikan kegiatannya yang sedang menyiapkan makan siang itu, ketika smartphone miliknya berbunyi, dilihatnya langsung notifikasi yang masuk, seraya menghembuskan napasnya perlahan.

Setelah saling membalas pesan dengan suaminya itu, pikirannya mulai melayang ke beberapa tahun lalu, ketika semua masih baik baik saja, lalu dilihatnya jam yang masih menunjukkan pukul 12.30 siang.

“Masih ada 30 menit lagi,” gumamnya seraya melepas kain apron cokelat yang melingkar ditubuhnya, ia berlalu kedalam kamarnya setelah meletakkan kain apron cokelat itu ketempat semulanya.

Wendy diam beberapa saat, menimbang ulang apakah memang harus dilihatnya lagi semua kenangan itu seraya menimbang juga apakah dia akan membicarakannya saat ini juga atau tidak.

Helaan napas keluar lagi untuk kesekian kalinya, diambilnya buku kenangan yang memang sudah tertutup lama dilemari buku koleksi miliknya dan suaminya itu,

Sejak masa sekolah dulu hingga masa perkuliahannya memang Wendy sudah sangat terbiasa dan senang mengabadikan semua moment indahnya disebuah buku yang ia sebut wendy's treasure, termasuk satu moment yang saat ini sedang dilihatnya sekarang,

“Kalian apa kabar disana?” Wendy terkekeh sebentar ketika melihat potret tiga orang wanita didepannya yang salah satunya adalah dirinya sendiri, “Pasti lagi ngegosipin gue ya disana? Haha kalian tega banget ninggalin gue disini sendirian,” Wendy menjeda kalimatnya, seraya mendongakkan kepalanya menatap langit kamarnya, menahan buliran air mata yang telah terkumpul dipelupuk matanya.

Ia menghela napasnya lagi, “Gue harus gimana sekarang? Kenapa sih beban yang lo pada tinggalin susah banget, lebih susah kaya ujian statistik dulu pas kuliah tau gak sih,” ucapannya sedikit terbata sebab beberapa bulir air yang sedari tadi ditahannya sudah mulai keluar membasahi pipinya,

“Gue bakal nyelesaiin ini semua ya, segera,”

“Nyelesaiin apa mih?” Wendy langsung terkejut mendengar suara dari belakangnya dan langsung terburu menghapus bekasi air mata yang sudah terlanjur jatuh ke pipinya, “Nyelesaiin apa mamih cantik? Eh ini bunda May kan ya?” tanya Kanaya semakin penasaran seraya ikut duduk dikarpet yang berada dilantai kamar tidur orang tuanya itu,

“Ini siapa mih?” ucap Kanaya seraya menunjuk satu sosok wanita yang berada diantara Wendy dan Mayang,

Wendy menimbang pikirannya lagi tadi, apakah ia akan menyampaikannya atau tidak, tetapi kalau bukan sekarang kapan lagi ia akan mengungkapkannya?

Wendy menghela napasnya, “Dia sahabatnya mamah sama bunda May, Kay. Namanya tante Iren, dia...” ucapan Wendy terjeda seraya ia bepikir ulang apakah ia harus mengatakannya pada putrinya itu atau tidak.

Kanaya tau ini berat untuk ibunya, yang ia tau bahwa sang ibu memang mempunyai 2 sahabat setia sedari ibunya ini dimasa kecilnya, begitupun juga ayahnya, dan yang ia ingat salah satu sahabat ayah dan ibunya itu adalah bunda Mayang dan almarhum suaminya, “Mamih kalo ceritanya berat gausah mih, gapapa kok,” ucapnya seraya mengusap punggung ibunya itu, serta memeluk tubuh ibunya dari samping,

“Kayana, mamih mau cerita dan minta tolong sesuatu sama kamu, mau kan?” ucap Wendy seraya melihat kearah mata putrinya dan membelai lembut surai hitam milik putrinya,

“Apa mih?” ucap Kayana dengan mata berbinarnya, siap mendengar cerita sang ibu didepannya,

Akhirnya, akhirnya cerita pilu yang selama ini dipendam dan dirahasiakan oleh Wendy serta Vian kepada putrinya dan sahabat satu-satunya itu tertumpahkan semua, semua tanpa terkecuali.

Wendy bercerita dengan suara perlahan seraya menahan isaknya, setelah ceritanya selesai semua pilunya tumpah, isakan tangisnya semakin kencang

Kayana masih terdiam, masih memproses semua cerita pilu dari ibunya, bagaimana bisa selama 15 tahun ini ibunya menyembunyikan semua rahasia besar seperti yang baru saja terungkapkan?

Direngkuhnya tubuh ibunya yang semakin bergetar, didekapnya erat tubuh ibunya, “Mamih, I'm here. You have me mih, aku bantuin pelan-pelan ya mih,” ucap Kayana seraya mengeratkan dekapannya dan mengelus lembut punggung ibunya itu.

Selesai, selesai sudah semua cerita pilu yang dipendam oleh Wendy, dan cepat atau lambat semua cerita pilu itu akan ia ceritakan oleh si pemeran utamanya, yaitu Dayana, Alsava Dayana Kentara.


[chat wendy – vian]

[wendy's treasure]

sebab anak perempuan pertama...

-

Renjeani Wiratma atau orang terdekatnya biasa memanggilnya dengan sapaan akrab dengan nama, Jeje ini menyesap sekali lagi americano yang ia beli beberapa menit lalu bersama sahabat setianya, Fabiano Aldo, yang masih setia menemani dirinya dihadapan pemandangan malam lampu kota Jakarta.

Jeje menghela napasnya dengan berat, dengan masih menatap layar smartphone berwarna putihnya, “Sepatu baru ya, Do?” ucap Jeje secara tiba-tiba ketika Aldo sedang berusaha menyalakan rokoknya itu dan langsung membalas ucapan sahabat perempuan tersayangnya itu dengan anggukan kepalanya perlahan, bukan bukan bermaksud untuk enggan mengeluarkan suaranya karena rokok yang sedang diapit oleh kedua bibirnya ini, tapi Aldo telah mengerti kemana arah pembicaraan sahabatnya ini selanjutnya, ia sudah sangat hapal dengan sahabatnya ini, terlebih jika sudah mendekati bulan agustus seperti sekarang ini, dimana semua lembaga pendidikan sedang memulai dengan ajaran barunya.

Jeje tersenyum kearah Aldo yang terdiam sembari menghisap rokoknya, tanpa melihat kearahnya, “Lepasin aja Je, jangan suka dipendem gitu,” ucap Aldo seraya menengokkan kepalanya kearah perempuan bersurai kecoklatan disampingnya.

Jeje yang mendengar itu hanya tertawa kecil dengan hambarnya, “Udah kebaca banget ya, Do?” tanyanya yang langsung dibalas anggukan oleh laki-laki disampingnya ini dengan meneguk sekaleng minuman bersoda itu.

Jeje menghela napasnya lagi, lalu menyesap americanonya lagi, menandakan ia bersiap untuk mengeluarkan semuanya, “Cape Do, cape banget rasanya,” Jeje menghentikan sejenak kalimatnya seraya menghirup udara, dan menghempaskannya dengan perlahan, “Udah berapa kali gue bilang cape banget, udah berapa kali gue istirahat, tapi masih sama aja rasanya, cape, cape banget,”

Aldo mengusap punggung Jeje dengan perlahan ketika Jeje menyelesaikan kalimat terakhirnya, seraya menundukkan kepalanya dengan lesu,

“Rasanya kaya ada ribuan ton beton yang bertengger dipundak gue, yang semakin hari rasanya kaya semakin bertambah.”

“Banyak orang yang bilang, semua ini udah kewajiban bagi gue sebagai anak yang paling tertua dikeluarga, semua orang bilang kalau gue harus bahagiain mereka, harus bisa menuhin keperluan mereka, dan harus bisa jadi tiang yang kuat biar kalau mereka butuh sandaran gue bisa selalu siap. Gue dituntut untuk menjadi tiang untuk menguatkan mereka semua, gue dituntut untuk jadi bahu yang kuat dikala mereka butuh sandaran, gue dituntut untuk jadi tangan yang kokoh biar ketika mereka butuh uluran tangan ketika mereka jatuh, gue bisa langsung ada buat narik mereka untuk berdiri lagi,” tetes air yang sudah terkumpul dipelupuk matanya berhasil lolos dengan beraninya, seraya puluhan pilu yang terkandung didalamnya juga ikut luruh bersamaan,

“Kata mereka anak perempuan pertama bahunya harus sekuat baja, hatinya harus setegar karang,” Jeje menghentikan ucapannya, seraya tertawa singkat dengan nada mencibirnya, “tapi mereka lupa Do, kalau baja jika terus tergores akan berkarat juga, dan mereka juga lupa kalau sebenarnya dalam kenyataannya, karang punya sifat yang sangat rapuh dan mudah hancur,” Jeje mengakhiri ucapannya dengan isak tangisnya yang pelan seraya dilengkapi tawanya yang keluar lagi dengan rasa hambar itu, “Tai kucing lah sama omongan kaya gitu, mereka seenaknya ngomong kaya gitu, tapi padahal mereka gak ngerasain sebenernya kenyataan kaya gimana.”

“Cape Aldo, gue cape. Gue cape hidup kaya gini terus, gue cape harus mikirin langkah apa yang harus gue ambil biar gue bisa bikin mereka semua seneng, gue cape harus muter otak biar gue bisa ngehidupin mereka semua, dan gue cape Do jadi tiangnya mereka,” pecah, pecah sudah isakan yang Jeje tahan sedari tadi ketika ia bercerita pada sahabatnya ini, sedangkan Aldo yang mendengarkan semua ucapan Jeje hanya bisa bergeming diam dan mendengarkan setiap ucapan sahabatnya itu, seraya sesekali mengelus pundak perempuan disampingnya dengan halus.

You've done so well Je,” ucap Aldo kepada sahabatnya yang langsung dibalas dengan gelak tawa hambar dengan nada mencibir didalamnya.

“Tai lah ucapan kaya gitu, sorry Do tapi lo tau kan maksud gue, gue udah muak banget sama omongan “lo bisa kok” atau “lo pasti kuat kok” enggak anjing gue gak kuat, enggak anjing gue gak bisa gue gak sanggup,” Jeje dengan tak sadar melempar gelas americanonya kearah sampingnya.

Aldo melihat itu langsung merengkuh tubuh perempuan bersurai kecoklatan disampingnya itu, yang kian lama kian bergetar, membawanya kedalam dekapannya, dan didekapnya dengan erat seraya mengusap punggung perempuan berwangi vanilla itu, “Gue cape Aldo gue cape, gue cape banget Do, cape banget, mau pulang, gak mau disini Do, gak sanggup gue, gue- gue gak bisa,” dan akhirnya pertahanannya runtuh semuanya, isakan tangisannya kian lama kian keras, seakan membawa semua pilu yang telah dideritanya selama 3 tahun kebelakang ini dalam satu erangan tangisannya malam ini,

Aldo paham, semua yang telah dilalui wanita ini tercurahkan semuanya malam ini, baja yang selama ini kokoh dihadapannya dan dihadapan semua orang yang menuntutnya untuk kuat telah berkarat, karang yang selama ini bertahan ditempatnya semakin rapuh dan mungkin telah hancur.

Dan akhirnya anak perempuan pertama yang selama ini menahan semua bebannya, kembali luruh hancur kedasar permukaan tanah, merasa menyerah dengan semua kenyataannya.

Tiang yang selama ini dipegang oleh banyak orang berhasil roboh setelah menerima berbagai hantaman selama ini, dan malam ini seorang Renjeani Wiratma telah jatuh kembali seperti tahun awal ketika ia harus mengemban semua hal yang ia tumpu dibahunya secara tiba-tiba.

Aldo memeluk tubuh Jeje semakin erat, seraya mencium bahu perempuan didalam dekapannya itu, menyalurkan semua kekuatannya kepada sahaabatnya ini.

Aldo menghela napasnya, Ini jatuh lo yang ke enam kali Je, masih ada kesempatan jatuh-jatuh yang selanjutnya, enggak lo gak lemah, lo orang paling kuat yang pernah gue temuin, tapi lo juga gak harus sekuat kaya yang orang-orang harapin. Selalu inget, enam kali jatuh, tujuh kali bangkit, dan begitu seterusnya. Dunia gak bakalan hancur kalau lo nunjukkin kelemahan barang sekali aja, ucap Aldo didalam benaknya.

“Kalau gue dituntut untuk jadi tiang yang kuat, dan bahu serta tangan yang kokoh, terus siapa Do yang bakalan nguatin serta narik gue buat bangkit?” ucapan lirih Jeje membuat Aldo semakin terdiam.

“Lo bisa untuk nguatin serta narik diri lo sendiri Je, lo mampu. Dan percaya sama diri lo kalau lo mampu untuk itu.”

Jeje tak membalas ucapan Aldo, tetapi ia hanya mengeratkan dekapannya pada tubuh laki-laki yang beberapa centimeter lebih tinggi darinya, seraya menumpahkan lagi semua pilunya.

fourth chapt. —

Mobil yang dikendarai Kentara bersaudarapun tiba dilahan taman pemakaman khusus yang memang sengaja dibeli oleh keluarga Kentara khusus untuk keluarga besar mereka,

Davendrapun turun dari mobil Bentley continental keluaran terbaru milik adiknya itu, seraya memakai kacamata hitam dan tak lupa membawa bouquet bunga yang telah disiapkan oleh adiknya yang paling kecil,

“Mas ada kacamata lagi gak?” Ailesh tiba-tiba telah berdiri disamping Davendra dengan kemeja hitamnya dan celana jeans kesayangannya, Davendrapun langsung memberikan kacamatanya yang lain yang masih berada didalam tasnya itu,

Ketika semakin dekat dengan makam para orang tua mereka, seketika tangan Byantara dicengkram kuat oleh Kegan yang berada disampingnya, ia tahu bahwa saudaranya ini masih belum terlalu bisa menghadapi kematian kedua orang tuanya, beberapa kali Byantara masih sering mendapati Kegan yang menangis meraung dalam diam dengan sesekali menyebut nama orang tuanya itu,

Kayvan yang mengetahui apa yang dialami oleh adiknya itu langsung menepuk pundak Kegan dan mengusap punggungnya perlahan seraya menganggukan kepalanya dan tersenyum,

Sedangkan Domicia, Aidan dan Arvel yang memang sengaja berjalan paling belakang melihat kearah para saudara mereka, “Gak kerasa ya, udah hampir setengah umur kita loh,” ucap Aidan kepada kedua saudaranya itu,

Kedua saudaranya itupun hanya menengok kearahnya seraya menganggukkan kepalanya,

Domicia terus memperhatikan kedua adik kembarnya yang merangkul satu sama lain, ah tidak tepatnya si yang lebih tua beberapa menit itu sedang merangkul yang lebih muda darinya, ya Avanesh tidak melepas rangkulannya dari kembarannya yang memang sedikit lebih perasa daripada dirinya, dengan masih merangkul kembarannya iapun mengalihkan pandangannya kearah kakak tertuanya, Davendra yang masih menundukkan kepalanya dengan dalam, seraya punggungnya diusap lembut oleh kakak tertuanya yang lain, Ramadella.

Setelah hampir sepuluh tahun selepas para orang tua mereka pergi itu, memang beberapa anggota Kentara bersaudara masih ada yang belajar menerima semuanya, masih ada yang belajar untuk berjalan melanjutkan kehidupan mereka semua tetapi juga beberapa diantaranya sudah ada yang menerima semuanya, dan berusaha menguatkan para saudaranya yang masih belajar itu.

Rama menghela napasnya dengan pelan, Kami telah melanjutkan semuanya secara bersama-sama dengan ada untuk satu sama lain, Eyangki dan Eyang putri pasti bahagia kan ngeliat kami disini? ucap Rama didalam batinnya dengan menatap lurus kearah makam kakek dan neneknya itu.