sebab anak perempuan pertama...

-

Renjeani Wiratma atau orang terdekatnya biasa memanggilnya dengan sapaan akrab dengan nama, Jeje ini menyesap sekali lagi americano yang ia beli beberapa menit lalu bersama sahabat setianya, Fabiano Aldo, yang masih setia menemani dirinya dihadapan pemandangan malam lampu kota Jakarta.

Jeje menghela napasnya dengan berat, dengan masih menatap layar smartphone berwarna putihnya, “Sepatu baru ya, Do?” ucap Jeje secara tiba-tiba ketika Aldo sedang berusaha menyalakan rokoknya itu dan langsung membalas ucapan sahabat perempuan tersayangnya itu dengan anggukan kepalanya perlahan, bukan bukan bermaksud untuk enggan mengeluarkan suaranya karena rokok yang sedang diapit oleh kedua bibirnya ini, tapi Aldo telah mengerti kemana arah pembicaraan sahabatnya ini selanjutnya, ia sudah sangat hapal dengan sahabatnya ini, terlebih jika sudah mendekati bulan agustus seperti sekarang ini, dimana semua lembaga pendidikan sedang memulai dengan ajaran barunya.

Jeje tersenyum kearah Aldo yang terdiam sembari menghisap rokoknya, tanpa melihat kearahnya, “Lepasin aja Je, jangan suka dipendem gitu,” ucap Aldo seraya menengokkan kepalanya kearah perempuan bersurai kecoklatan disampingnya.

Jeje yang mendengar itu hanya tertawa kecil dengan hambarnya, “Udah kebaca banget ya, Do?” tanyanya yang langsung dibalas anggukan oleh laki-laki disampingnya ini dengan meneguk sekaleng minuman bersoda itu.

Jeje menghela napasnya lagi, lalu menyesap americanonya lagi, menandakan ia bersiap untuk mengeluarkan semuanya, “Cape Do, cape banget rasanya,” Jeje menghentikan sejenak kalimatnya seraya menghirup udara, dan menghempaskannya dengan perlahan, “Udah berapa kali gue bilang cape banget, udah berapa kali gue istirahat, tapi masih sama aja rasanya, cape, cape banget,”

Aldo mengusap punggung Jeje dengan perlahan ketika Jeje menyelesaikan kalimat terakhirnya, seraya menundukkan kepalanya dengan lesu,

“Rasanya kaya ada ribuan ton beton yang bertengger dipundak gue, yang semakin hari rasanya kaya semakin bertambah.”

“Banyak orang yang bilang, semua ini udah kewajiban bagi gue sebagai anak yang paling tertua dikeluarga, semua orang bilang kalau gue harus bahagiain mereka, harus bisa menuhin keperluan mereka, dan harus bisa jadi tiang yang kuat biar kalau mereka butuh sandaran gue bisa selalu siap. Gue dituntut untuk menjadi tiang untuk menguatkan mereka semua, gue dituntut untuk jadi bahu yang kuat dikala mereka butuh sandaran, gue dituntut untuk jadi tangan yang kokoh biar ketika mereka butuh uluran tangan ketika mereka jatuh, gue bisa langsung ada buat narik mereka untuk berdiri lagi,” tetes air yang sudah terkumpul dipelupuk matanya berhasil lolos dengan beraninya, seraya puluhan pilu yang terkandung didalamnya juga ikut luruh bersamaan,

“Kata mereka anak perempuan pertama bahunya harus sekuat baja, hatinya harus setegar karang,” Jeje menghentikan ucapannya, seraya tertawa singkat dengan nada mencibirnya, “tapi mereka lupa Do, kalau baja jika terus tergores akan berkarat juga, dan mereka juga lupa kalau sebenarnya dalam kenyataannya, karang punya sifat yang sangat rapuh dan mudah hancur,” Jeje mengakhiri ucapannya dengan isak tangisnya yang pelan seraya dilengkapi tawanya yang keluar lagi dengan rasa hambar itu, “Tai kucing lah sama omongan kaya gitu, mereka seenaknya ngomong kaya gitu, tapi padahal mereka gak ngerasain sebenernya kenyataan kaya gimana.”

“Cape Aldo, gue cape. Gue cape hidup kaya gini terus, gue cape harus mikirin langkah apa yang harus gue ambil biar gue bisa bikin mereka semua seneng, gue cape harus muter otak biar gue bisa ngehidupin mereka semua, dan gue cape Do jadi tiangnya mereka,” pecah, pecah sudah isakan yang Jeje tahan sedari tadi ketika ia bercerita pada sahabatnya ini, sedangkan Aldo yang mendengarkan semua ucapan Jeje hanya bisa bergeming diam dan mendengarkan setiap ucapan sahabatnya itu, seraya sesekali mengelus pundak perempuan disampingnya dengan halus.

You've done so well Je,” ucap Aldo kepada sahabatnya yang langsung dibalas dengan gelak tawa hambar dengan nada mencibir didalamnya.

“Tai lah ucapan kaya gitu, sorry Do tapi lo tau kan maksud gue, gue udah muak banget sama omongan “lo bisa kok” atau “lo pasti kuat kok” enggak anjing gue gak kuat, enggak anjing gue gak bisa gue gak sanggup,” Jeje dengan tak sadar melempar gelas americanonya kearah sampingnya.

Aldo melihat itu langsung merengkuh tubuh perempuan bersurai kecoklatan disampingnya itu, yang kian lama kian bergetar, membawanya kedalam dekapannya, dan didekapnya dengan erat seraya mengusap punggung perempuan berwangi vanilla itu, “Gue cape Aldo gue cape, gue cape banget Do, cape banget, mau pulang, gak mau disini Do, gak sanggup gue, gue- gue gak bisa,” dan akhirnya pertahanannya runtuh semuanya, isakan tangisannya kian lama kian keras, seakan membawa semua pilu yang telah dideritanya selama 3 tahun kebelakang ini dalam satu erangan tangisannya malam ini,

Aldo paham, semua yang telah dilalui wanita ini tercurahkan semuanya malam ini, baja yang selama ini kokoh dihadapannya dan dihadapan semua orang yang menuntutnya untuk kuat telah berkarat, karang yang selama ini bertahan ditempatnya semakin rapuh dan mungkin telah hancur.

Dan akhirnya anak perempuan pertama yang selama ini menahan semua bebannya, kembali luruh hancur kedasar permukaan tanah, merasa menyerah dengan semua kenyataannya.

Tiang yang selama ini dipegang oleh banyak orang berhasil roboh setelah menerima berbagai hantaman selama ini, dan malam ini seorang Renjeani Wiratma telah jatuh kembali seperti tahun awal ketika ia harus mengemban semua hal yang ia tumpu dibahunya secara tiba-tiba.

Aldo memeluk tubuh Jeje semakin erat, seraya mencium bahu perempuan didalam dekapannya itu, menyalurkan semua kekuatannya kepada sahaabatnya ini.

Aldo menghela napasnya, Ini jatuh lo yang ke enam kali Je, masih ada kesempatan jatuh-jatuh yang selanjutnya, enggak lo gak lemah, lo orang paling kuat yang pernah gue temuin, tapi lo juga gak harus sekuat kaya yang orang-orang harapin. Selalu inget, enam kali jatuh, tujuh kali bangkit, dan begitu seterusnya. Dunia gak bakalan hancur kalau lo nunjukkin kelemahan barang sekali aja, ucap Aldo didalam benaknya.

“Kalau gue dituntut untuk jadi tiang yang kuat, dan bahu serta tangan yang kokoh, terus siapa Do yang bakalan nguatin serta narik gue buat bangkit?” ucapan lirih Jeje membuat Aldo semakin terdiam.

“Lo bisa untuk nguatin serta narik diri lo sendiri Je, lo mampu. Dan percaya sama diri lo kalau lo mampu untuk itu.”

Jeje tak membalas ucapan Aldo, tetapi ia hanya mengeratkan dekapannya pada tubuh laki-laki yang beberapa centimeter lebih tinggi darinya, seraya menumpahkan lagi semua pilunya.