©loeyhunJ4d

An alter universe

chapt. twenty-fifth -

Dayana telah berhasil merapihkan seluruh sisi ruangan kosannya yang tidak terlalu besar itu, memang kosannya ini berbeda dengan tipe kosan yang lainnya, kosannya yang baru ia tinggali selama kurang lebih 4 bulan ini merupaka tipe kosan semi studio dimana terdapat dapur didalamnya, sehingga memudahkan Dayana pula untuk memasak atau sekedar menghangatkan masakannya,

Tok!tok!tok!

Bunyi ketukan pintu yang cukup keras, dan memburu itu membuat Dayana terburu-buru untuk membukanya,

Tepat setelah Dayana membuka pintunya, tampaklah seorang Basudeo, Affandra, Aydan, Edhan, Ailesh dan Avanesh kini didepannya,

“Boleh masuk gak?” ucap Basudeo tanpa berbasa-basi terlebih dahulu, yang membuat Dayana langsung sedikit memiringkan tubuhnya agar para saudaranya ini masuk,

“Wah! Bersih banget,”

“Ih enak banget deh suasananya adem gini,”

“Day ini mas beli kue, mas Aydan taruh dikulkas ya,”

ucapan Basudeo, Ailesh , dan juga Aydan saling bersautan,

“Jarang ada yang dateng kesini ya?” Affandra bertanya kearah Dayana, yang langsung dibalas anggukan oleh Dayana,

“Cowok gak pernah kan?” ucapan Edhan sukses membuat semua mata tertuju kearah Dayana,

membuat Dayana sedikit gugup, pasalnya seorang Fabian bahkan Reyga pernah mampir kedalam sini, tetapi tentu bersamaan dengan Kayana juga,

“Kak Reyga sama Bian pernah kesini,”

“HAH?!” seruan terkejut berhasil keluar bersamaan dari keenam mulut para saudaranya itu,

“Tapi ada Kayana kok, ada Kayana,” ucapan Dayana sukses membuat semua saudaranya itu menghela napas lega

“Gausah cerita, itu kan masalah kalian berdua,” ucap Aydan, ia paham dari gelagat tidak enak Dayana ketika ia menyebutkan nama seorang Kayana tadi,

“Ah iya mas,”

“Eh Day, mana yang tadi? Udah dirapihin belum?” Ailesh tiba-tiba bertanya dengan nada yang bersemangat, membuat Dayana bingung bagaimana menunjukkannya,

Ia berpikir tidak mungkin ia tunjukkan kedepan mereka semua,

“Belum, belum dirapihin, soalnya tadi sibuk rapih-rapih,” ucap Dayana berbohong membuat Ailesh menghela napasnya kecewa,

“Day ada bahan masakan apa? Makan malem belum kan?” Aydan berdiri dari duduknya lalu membuka kulkas yang berada tidak jauh dari dirinya,

“Tadi Day beli bahan buat pasta mas, tapi bingung mau bikin apa,”

“Pasta apa?”

“Sphagetti,” ucapan Dayana langsung seorang Aydan berpikir,

Aydan menjetikkan kedua jarinya, “Aglio olio aja,” ucapan Aydan dibalas dengan anggukan dengan sedikit tersenyum oleh Dayana,

“Guys! Guys! Makan malemnya aglio olio aja ya,” ucap Aydan sedikit meninggikan suaranya, agar para saudaranya itu mendengarnya,

“Yaudah,”

“Oke,”

“Gas,”

ucapan-ucapan itu bergantian keluar dari mulut kelima saudaranya, membuat Aydan langsung bersiap memasak, Dayana terdiam sebentar menatap kearah keenam saudaranya itu, melihat kearah satu persatu ekspresi yang keluar dari mereka semua,

Edhan dan Affandra yang sedang memakai earphonenya dan seperti sedang berpikir, sedangkan Basudeo, Ailesh dan Avanesh terlihat menggerutu dengan wajah kesalnya dengan handphone digenggamannya yang dibuat miring, dan Aydan, yang sedang mencari beberapa bahan masakan didalam kulkasnya,

“Day? Day? Dayana!!” teriakan Affandra membuatnya tersadar dari lamunannya,

“Eh iya mas?” ucapnya seraya menatap kearah Affandra,

“Itu kamu dipanggil mas Aydan,”

“Eh?” Dayanapun langsung menolehkan kepalanya kearah Aydan yang langsung membuat semuanya tertawa,

“Mau ikutan masak gak? Kalo enggak duduk aja, jangan berdiri terus, pegel nanti,”

“Eh mau bantuin,”

Dan malam itu ketujuh Kentara bersaudara menghabiskan waktu mereka bersama, seraya berbagi cerita antara satu dengan yang lainnya, dan berharap hubungan mereka setelah ini menjadi sangat akrab dan dekat.

chapt. twenty-four -

Ailesh membuka pintu besi yang sedikit sudah berkarat didepannya, menunggu kedua orang dibelakangnya masuk,

Disana telah tertata meja dan 3 bangku, keduanya memang telah disiapkan oleh Ailesh dan Avanesh tadi pagi setelah sesampainya mereka disekolah, tadi pagi sebelum mereka masuk kedalam kelasnya, mereka menuju ke rooftop bagian timur gedung sekolah mereka terlebih dahulu,

“Kalian nyiapin ini?” ucapan Dayana segera dibalas dengan anggukan oleh Ailesh dengan bangganya,

“Tadi pagi gue sama Anesh kesini dulu,”

Dayana memberikan tepuk tangan untuk kedua saudaranya itu,


Setelah mereka menghabiskan makan siang yang dibawa oleh Ailesh tadi, Avanesh segera mengeluarkan mesin pencetak foto yang telah dibawanya tadi,

“Tara!! Ini hadiahnya, gue bakalan bantuin lo buat lebih kenal dan hafal sama para mas, tapi lo nyatetnya coret coret dulu aja baru nanti lo salin lagi biar rapih gitu loh,” Ailesh menjelaskannya kepada Dayana, dan ucapannya itu hanya dibalas anggukan oleh Dayana,

Dayana sebenarnya bingung harus bereaksi apa selain setuju dengan ucapan Ailesh, pasalnya didalam dirinya masih berkecamuk akankah dia tinggal bersama mereka atau tidak,

“Tadi gue udah mikirin, karena para mas banyak, jadinya nanti Anesh yang nyetakin fotonya, terus ditulis nomornya gitu dipolaroidnya, nah nanti lo nulisnya dikasih keterangan nomor juga, paham gak?”

“Paham paham,” ucap Dayana menyetujui ucapan Alesh

Dan akhirnya sisa waktu istirahat merekapun dipakai untuk mendengarkan dongeng panjang tentang para Kentara bersaudara dari seorang Ailesh Reka Kentara.

Alesh bahagia banget ya punya para masnya, apa gue bakal gitu juga, batin Dayana setelah melihat bagaimana mata Ailesh yang terlihat berbinar sepanjang ceritanya.

“Btw Day, lo kenapa bisa berantem sama Kayana?” ucapan Ailesh sukses membuat Dayana yang tadinya sedang menuliskan kalimat terakhir berhenti seketika,

Avanesh yang menyadari itu langsung menyubit pinggang Ailesh disampingnya, “Ah sorry sorry Day, gak maksud ikut campur, cuman kali aja kita bisa bantuin,”

Dayanapun menghela napasnya kasar, menaruh pulpen hitam digenggamannya lalu mengalihkan pandangannya ke arah 2 orang saudaranya itu,

Untaian-untaian kalimat kesal dan bingung sukses keluar dari mulut Dayana, seraya dengan perubahan beberapa ekspresi Dayana yang mendukung seluruh kalimat cerita yang ia ingin sampaikan kepada kedua laki-laki didepannya,

“Kalau dia emang sahabat lo, dia pasti ngerti gimana ada diposisi lo, tapi kalopun dia gak ngerti, well at least dia ngehargain setiap keputusan lo, maksudnya ya hidup lo ya lo yang mutusin lah bukan orang lain,” Avanesh yang sedari tadi diam mengeluarkan kalimat panjangnya, membuat Dayana sedikit terkejut olehnya,

Ailesh mengangguk-anggukkan kepalanya, menandakan ia setuju oleh ucapan dari saudara kembarnya itu, “Bener sih kata Anesh, maksudnya ya dia kan disini jatoh ya hanya orang lain dari cerita lo gitu, walaupun mungkin dia gak tega ngeliat nyokapnya sendiri sedih atau apalah tapi tetep aja dia gak ada hak untuk itu. Setiap orang kan punya batasan buat ikut campur dikehidupan orang lain,”

“Kalau gak berkepentingan mah gak usah ikut campur lah,” ucap Avanesh seraya meneguk minumannya,

Dayanapun berpikir cukup lama, mengalihkan pandangannya kearah gedung-gedung yang berada disamping sekolahnya itu, mencerna setiap kalimat yang keluar dari kedua saudaranya itu,


“Oiya Day, nanti para mas mau main ke kosan lo boleh? Soalnya mas Cia kayanya moodnya lagi gak bagus gitu, bukan main sih, belajar disana,” ucapan Ailesh sukses menghentikan Dayana yang sedang menuruni tangga itu, membuat Avanesh yang dibelakangnya juga ikut terhenti,

“Sekarang?”

“Ya enggak lah, paling jam 7an, soalnya kita ada private les dulu kan, boleh kan?” Ailesh mengucapkannya seraya membalikkan badannya menatap Dayana,

Dayana yang diberikan tatapan manis seperti yang Ailesh tengah lakukan ini hanya bisa menghela napasnya lalu menganggukkan kepalanya dengan pasrah,

“ASIKKKK!!!” ucap Ailesh berteriak dengan girang, sedangkan Avanesh yang hanya memperhatikan mereka hanya bisa menggelengkan kepalanya.

chapt. twenty-third. -

Dayana melirik kearah Rama beberapa kali, “Kenapa? Ada yang mau dibilang ke mas?” ucap Rama dengan masih fokus kearah layar lebar didepannya,

“Ah eng- ini mas,”

Rama menengadahkan kepalanya ke arah Dayana, dengan kacamatanya yang sedikit lebih longgar, “Arvel lagi?” ucapnya yang  langsung membuat Dayana tersenyum dengan salah tingkah,

“Aish anak itu,” Rama segera menyambar handphonenya dan menelfon seseorang,

“Halo? Kamu udah ngecek m-banking kamu belum?” ucap Rama seraya masih melirik kearah layar lebar didepannya, “Ya makanya dicek dong, dari tadi udah mas transfer buat kamu berdua Cia nganterin bi Darmi,”

“Iya makanya dicek sekarang, abis itu langsung berangkat keburu sore nanti,” ucapan terakhir dari Rama langsung membuatnya mematikan sambungan telpon itu pula,


Dayana meletakan tasnya diatas tempat tidurnya, seraya melepas kaos kaki yang baru saja ia pakai dan melemparnya ke arah keranjang berwarna coklat didepannya,

Obrolannya dengan Rama masih terngiang dalam pikirannya, ucapan Rama yang jelas-jelas memintanya untuk pindahpun masih terus berlarian, ia tidak bisa memutuskan dengan cepat akan permintaan Rama, walau dalam hatinya sebenarnya sudah lama ia mengingkan suasana rumah yang ramai.

Dering telfon Dayana menghamburkan semua lamunannya, nama “Kayana” terpampang dilayar smartphone itu,

“Kenapa Kay?” ucapnya segera setelah menekan tombol hijau dilayarnya,

Lo dimana Day?

“Dikosan, kenapa?” jawab Dayana dengan cepat, ia merasakan ada yang tidak beres dari suara Kayana malam ini,

Besok lo bisa kerumah gak? Mami nanyain,

Seketika lidah Dayana kelu, setelah  pengakuan Wendy beberapa hari lalu, didalam dirinya masih belum bisa memaafkan wanita yang seumuran dengan bundanya itu,

Day?

“Kay, lo kan-”

Kenapa? Lo masih belum bisa maafin mamih?” Kayana mengucapkannya dengan sedikit bernada tinggi,

“Lo tau kenapa gue belum bisa maafin mamih kan,”

Tapi lo udah bisa dengan senang hati menerima para mas-masnya Alesh dan Anesh itu,

Dayana menghela napasnya dengan kasar, “Kenapa lo jadi ngebahas mereka?”

Karena kita lagi ngebahas lo gak bisa maafin mamih karena masalah lo yang bukan anaknya bunda,

Dayana berdecak dengan jengkel, “Gue lagi gamau bahas ini Kay, please,”

Kenapa? Lo gak tau seberapa sakitnya mamih pas chatnya atau telfonnya gak lo bales atau angkat, selama ini dia udah bantuin lo Day, kalo gak ada mamih, lo bisa apa sekarang? jangan kacang lupa kulitnya,

“Lo mikirin mamih sampe segitunya? Tapi kenapa lo gak mikirin gue yang sebagai korban disini Kay? Apa lo pikir gue udah nerima semuanya, ENGGAK KAYANA ENGGAK,” Dayana meninggikan suaranya kala menjawab ucapan Kayana dengan bulir air mata yang sudah memupuk di pelupuk, “Lo pikir gue udah bisa nerima? Lo pikir selama ini gue ngerasa enak ngebebanin keluarga lo? Lo pikir gue disini enak? ENGGAK KAY, ENGGAK! Gue selama ini sakit, gue selama ini nahan untuk gak ngerepotin siapa-siapa, dan secara gak langsung lo bilang kalo selama ini mamih ngebiayain gue?” Dayana tertawa mengejek, “Bukannya semua uang yang biayain gue itu udah diatur semua sama mendiang orang tua gue?” Dayana terdiam sebentar, “Gue cuman mau ngerasain rasanya punya keluarga yang bisa ngasih gue kasih sayang dengan banyak Kay, bisa gak lo gak usah ikut campur sama semuanya?”

Dayana langsung menutup sambungan telponnya dengan Kayana,

Kakinya melemas, tubuhnya langsung terduduk dilantai, bulir air mata yang tertahan dipelupuknya telah terjun bebas membasahi pipinya, “Apa gak bisa sekali ini aja gue melampiaskan semua kesalahan ke orang lain, apa gak bisa sekali ini aja biarinin gue buat bisa bergantung sama orang,” Isakan tangisan Dayana terdengar cukup keras, semua hal yang telah ditahannya selama beberapa hari ini ternyata tumpah seketika,

Selama beberapa hari ini ia berpikir bahwa dirinya baik-baik saja, tapi ternyata tidak, semuanya hanya ia simpan sendiri didalam dirinya, semuanya hanya ia pendam untuk dirinya sendiri, atau bahkan ia pendam agar semuanya tidak meledak, tapi kenyataannya malam ini, semua pahit dihatinya meledak sempurna.

Kenapa bund, kenapa bukan bunda yang ngasih tau aja, Isakan tangisnya semakin sesak, kepalanya semakin tertunduk, buliran air matanya semakin deras mengalir kearah pipinya.

chapt. twenty-third. -

Dayana melirik kearah Rama beberapa kali, “Kenapa? Ada yang mau dibilang ke mas?” ucap Rama dengan masih fokus kearah layar lebar didepannya,

“Ah eng- ini mas,”

Rama menengadahkan kepalanya ke arah Dayana, dengan kacamatanya yang sedikit lebih longgar, “Arvel lagi?” ucapnya yang langsung membuat Dayana tersenyum dengan salah tingkah,

“Aish anak itu,” Rama segera menyambar handphonenya dan menelfon seseorang,

“Halo? Kamu udah ngecek m-banking kamu belum?” ucap Rama seraya masih melirik kearah layar lebar didepannya, “Ya makanya dicek dong, dari tadi udah mas transfer buat kamu berdua Cia nganterin bi Darmi,”

“Iya makanya dicek sekarang, abis itu langsung berangkat keburu sore nanti,” ucapan terakhir dari Rama langsung membuatnya mematikan sambungan telpon itu pula,


Dayana meletakan tasnya diatas tempat tidurnya, seraya melepas kaos kaki yang baru saja ia pakai dan melemparnya ke arah keranjang berwarna coklat didepannya,

Obrolannya dengan Rama masih terngiang dalam pikirannya, ucapan Rama yang jelas-jelas memintanya untuk pindahpun masih terus berlarian, ia tidak bisa memutuskan dengan cepat akan permintaan Rama, walau dalam hatinya sebenarnya sudah lama ia mengingkan suasana rumah yang ramai.

Dering telfon Dayana menghamburkan semua lamunannya, nama “Kayana” terpampang dilayar smartphone itu,

“Kenapa Kay?” ucapnya segera setelah menekan tombol hijau dilayarnya,

“Lo dimana Day?”

“Dikosan, kenapa?” jawab Dayana dengan cepat, ia merasakan ada yang tidak beres dari suara Kayana malam ini,

“Besok lo bisa kerumah gak? Mami nanyain,”

Seketika lidah Dayana kelu, setelah pengakuan Wendy beberapa hari lalu, didalam dirinya masih belum bisa memaafkan wanita yang seumuran dengan bundanya itu,

“Day?”

“Kay, lo kan-”

Kenapa? Lo masih belum bisa maafin mamih?” Kayana mengucapkannya dengan sedikit bernada tinggi,

“Lo tau kenapa gue belum bisa maafin mamih kan,”

Tapi lo udah bisa dengan senang hati menerima para mas-masnya Alesh dan Anesh itu,

Dayana menghela napasnya dengan kasar, “Kenapa lo jadi ngebahas mereka?”

Karena kita lagi ngebahas lo gak bisa maafin mamih karena masalah lo yang bukan anaknya bunda,

Dayana berdecak dengan jengkel, “Gue lagi gamau bahas ini Kay, please,”

Kenapa? Lo gak tau seberapa sakitnya mamih pas chatnya atau telfonnya gak lo bales atau angkat, selama ini dia udah bantuin lo Day, kalo gak ada mamih, lo bisa apa sekarang? jangan kacang lupa kulitnya,

“Lo mikirin mamih sampe segitunya? Tapi kenapa lo gak mikirin gue yang sebagai korban disini Kay? Apa lo pikir gue udah nerima semuanya, ENGGAK KAYANA ENGGAK,” Dayana meninggikan suaranya kala menjawab ucapan Kayana dengan bulir air mata yang sudah memupuk di pelupuk, “Lo pikir gue udah bisa nerima? Lo pikir selama ini gue ngerasa enak ngebebanin keluarga lo? Lo pikir gue disini enak? ENGGAK KAY, ENGGAK! Gue selama ini sakit, gue selama ini nahan untuk gak ngerepotin siapa-siapa, dan secara gak langsung lo bilang kalo selama ini mamih ngebiayain gue?” Dayana tertawa mengejek, “Bukannya semua uang yang biayain gue itu udah diatur semua sama mendiang orang tua gue?” Dayana terdiam sebentar, “Gue cuman mau ngerasain rasanya punya keluarga yang bisa ngasih gue kasih sayang dengan banyak Kay, bisa gak lo gak usah ikut campur sama semuanya?”

Dayana langsung menutup sambungan telponnya dengan Kayana,

Kakinya melemas, tubuhnya langsung terduduk dilantai, bulir air mata yang tertahan dipelupuknya telah terjun bebas membasahi pipinya, “Apa gak bisa sekali ini aja gue melampiaskan semua kesalahan ke orang lain, apa gak bisa sekali ini aja biarinin gue buat bisa bergantung sama orang,” Isakan tangisan Dayana terdengar cukup keras, semua hal yang telah ditahannya selama beberapa hari ini ternyata tumpah seketika,

Selama beberapa hari ini ia berpikir bahwa dirinya baik-baik saja, tapi ternyata tidak, semuanya hanya ia simpan sendiri didalam dirinya, semuanya hanya ia pendam untuk dirinya sendiri, atau bahkan ia pendam agar semuanya tidak meledak, tapi kenyataannya malam ini, semua pahit dihatinya meledak sempurna.

“Kenapa bund, kenapa bukan bunda yang ngasih tau aja,” Isakan tangisnya semakin sesak, kepalanya semakin tertunduk, buliran air matanya semakin deras mengalir kearah pipinya.

chapt. twenty two -

Suasana dapur keluarga Kentara mulai ramai setelah berita yang secara mendadak dari para laki-laki tertua diantara Kentara bersaudara membuat gempar semuanya,

Terlihat dua laki-laki yang terpaut 8 tahun dengan satu sama lain, mulai membantu beberapa pekerja dirumah yang Kentara bersaudara tempati,

“Eh eh Bi Darmi jangan jangan, biar saya aja,” ucap Davendra kala melihat seorang wanita paruh baya yang mungkin seumuran dengan ibunya itu ingin mengangkut satu kotak besar untuk dibawanya ke area dapur,

“Byan, Ay, gimana sih masa bi Darmi yang suruh bawa kardus gede gini,”

“Eh aih si aden, teu nanaon* bibi mah kuat,”

Byantara pun langsung mengambil alih kardus yang berada direngkuhan kedua lengan Davendra, “Kuat sih kuat, tapi kalo encok ntar yang repot si bi Nah tuh,” ucapan Byantara membuat keempat pekerja yang sedang bersama dengan Aydan mengelola beberapa masakan didapur itu sedikit tertawa,

“Ih tau tuh den, si bi Darmi suka kitu kalo dibilanginnya ngeyel, kaya den Deo,”

“Dih dih bi Sari, jangan suka buka kartu,” ucap Basudeo yang baru saja sampai didaerah dapur, “Ini kaya posko korban banjir dah,”

Davendra menggelengkan kepalanya, seraya mengusap surai kecoklatan milik Basudeo dan berlalu dari area dapur, “Ada yang bisa dibantuin gak?” ucap Deo kepada kedua saudaranya itu,

“Enggak enggak, udah sana malah bikin ribet nanti,” ucap Aydan yang langsung dibalas tatapan tajam oleh Basudeo, sehingga membuat yang lainnya tertawa melihat keduanya,

“Dih awas lu yaaa, ga akan gue bantuin lagi,”

“MAS BYANNN!! MAS AYDANNN!! Alesh sama Anesh berangkat yaa,” suara teriakan itu terdengar jelas hingga ke area dapur,

Membuat para pekerja rumah Kentara, Byantara dan Aydan segera memproses semua makanan yang ingin mereka buat.

Semoga aja macet, ucap Byantara didalam pikirannya.


Range-Rover hitam yang ditumpangi ketiga cucu termuda dari keluarga Kentara mulai memasukki pelataran rumah yang saat ini Kentara bersaudara tempati, disambut dengan beberapa orang berpakaian gelap,

Ailesh yang memang duduk dibangku kosong disamping Dayana membuka pintu mobil itu dan turun terlebih dahulu, menyusul Avanesh yang telah berada diluar, “Ayo Day turun,” ucap Ailesh menatap kearah Dayana yang masih terdiam didalam mobil, “Ada gue, santai,” ucapnya kemudian sedikit menarik tangan sebelah kanan Dayana, dengan tangan satunya ia taruh dibagian pinggiran atap mobil, guna melindungi kepala Dayana dari benturan,

“Thanks Lesh,”

“Pake, abis hujan soalnya,” ucap Avanesh yang langsung berlalu setelah memberikan bomber hitamnya kepada Dayana,

“Udah pake aja daripada ngomel dia,” ucap Ailesh yang langsung dijawab anggukan oleh Dayana,

Dayana masih memproses semuanya, ditambah dengan perasaan gugupnya yang berkecamuk didalam dirinya, membuat dirinya tidak sanggup mengeluarkan sepatah katapun,

Ailesh sedikit menunduk kepada laki-laki yang usianya terpaut jauh darinya, “Ayo Day, ah kenalin ini pak Bakti, dia kepala keamanan disini,”

“Selamat malam non,” ucap laki-laki yang baru saja disebut oleh Ailesh tadi,

“Dayana pak,”

“Bakti non, Bakti Subardja,” Dayana tersenyum seraya menyambut uluran tangan laki-laki itu,

“Nah ini ruang tamu kita, tapi jarang sih kita nerima tamu disini, biasanya langsung dibawa paviliun belakang, biar lebih aman gitu,”

“Setelah ruang tamu, taraa!! Ini pintu menuju ruangan utama dirumah ini, nah gagang pintu ini langsung ngedeteksi sidik jari pas kita ngegenggam handlenya, dan kerennya ini didesign sama mas Kayvan dan para rekannya gitu deh,”

“Jelasin nanti aja bisa gak?” Avanesh yang bersuara itu langsung ditatap tajam oleh Ailesh,

“Jutek banget sih lu, ayo Day,” Ailesh mendorong pintu kayu yang berada didepannya,

“AKHIRNYA DATANG JUGA!!!”

“WELCOME! WELCOME!”

ucap Arvel dan Aidan secara bergantian yang langsung dihadiahi pukulan dipunggung mereka, “Aww!! Kenapa sih?” ucap Arvel yang langsung dihadiahi tatapan tajam lagi dari Domicia

“Berisik, udah malem, kaya lagi nonton sirkus lu semua,” ucap Domcia yang langsung berjalan berlalu kearah Ailesh, Avanesh dan Dayana yang masih terdiam diambang pintu,

“Tadi macet banget Lesh?”

“Lumayan,”

“Mas, Anesh laper banget, boleh nanti aja gak ngobrolnya?”

Domicia langsung menggelengkan kepalanya, “Hai, you must be Dayana, kan? Cia” ucap Domicia dihadapan Dayana seraya mengulurkan tangannya,

“Dayana-” ucapan Dayana menggantung seraya ia menoleh kearah Ailesh untuk membantunya,

“Mas, panggil semua disini mas,” ucap Avanesh kala ia melihat tatapan kebingungan Dayana pada Ailesh

“Kecuali sama kedua bocil ini, kamu cukup panggil mereka nama aja, Arvel,” Arvel mengacak-acak rambut kedua adik laki-lakinya itu yang langsung dibalas pukulan kecil oleh keduanya,

“Aidan, Aidan tampan sedunia,” ucap Aidan langsung membuat heboh diantara mereka,

“Dunia fantasi ancol maksudnya?” suara Davendra membuat mereka menolehkan kearahnya, “Gausah didepan pintu gitu buruan duduk, udah malem ini, sebentar lagi mas Rama pulang,”

“Mas Rama yang tinggi orangnya,” ucap Ailesh kala melihat Dayana masih kebingungan,

“Nah iya bi ditaro situ aja,” ucap Byantara mengarahkan seseorang wanita yang berpakaian seragam berwarna abu-abu didepannya,

“Eh eh bi, ini biar Aydan aja yang rapihin gapapa, udah bibi pada istirahat aja, jangan lupa bawa makanan yang tadi kita masak satu piring kebawah ya,” ucap Aydan yang langsung mengambil alih semua pekerjaan wanita itu,

Ruangan bawah rumah keluarga Kentara merupakan sebuah basement yang ditempati oleh para pekerja yang membantu mereka mengawasi dan membersihkan kediaman mereka ini,

“Itu bi Darmi, kepala pelayan disini, nah bi Darmi sama keluarganya tinggal dirumah kontrakan yang difasilitasin sama mas Rama buat beberapa pekerja yang udah berkeluarga,” ucapan Ailesh hanya dibalas anggukan saja oleh Dayana,

“Wes! Makan besar nih,” ucap Davendra kala melihat meja makan yang sudah dipenuhi berbagai macam hidangan laut,

“Tema makan malam hari ini, Under the sea, kaya kartun favoritnya Dayana, iya kan?” ucapan Aydan sukses membuat Dayana menatapnya terkejut,

“Tau dari gue dia tuh,” suara Basudeo tiba-tiba bergabung ditengah ruang makan Kentara itu, disusul oleh sosoknya bersamaan dengan Affandra dan Edhan dibelakangnya,

“Iya lo tau dari temennya Dayana yang kata lo cakep itu kan,” Kegan membalas ucapan Basudeo dengan senyum seringainya,

“MAS MAH!!” ucap Basudeo seraya memukul punggung Kegan,

“YA!! SAKIT ANJIR,”

“BERANTEMNYA PAKE PISO SINI! MAU GAK?!” ucap Byantara sedikit berteriak kepada kedua orang kakak-adik didepannya,

“Udah napa mas sama Deo ini, kasian si Dayana kena mental baru dateng juga,” ucap Aidan kepada kakak dan adiknya itu,

“Begini lah Day, kehidupan yang fana ini,” ucap Ailesh seraya menarik kursi meja makan disampingnya, mempersilahkan Dayana untuk duduk,


“Sudah pada kenalan semua?” ucap Rama ditengah-tengah kegiatan mereka makan,

“Ah Byan belum,” Byantara langsung berdiri menghampiri kursi Dayana yang berada ditengah antara Ailesh dan Avanesh itu, “Byantara, panggil aja mas Byan,”

“Dayana, mas,” ucap Dayana seraya menerima uluran tangan Byantara,

“Dayana, gimana disekolah?” ucap Rama yang langsung membuat beberapa adiknya berdecak,

“Mas, pertanyannya bisa gak sih gak teoritis gitu?”

“Tau ya berasa ngomong sama eyang dah,”

“Ya abis gimana dong?” ucap Rama membalas kedua adiknya, Kegan dan Davendra

“Nanyanya tuh, Dayana udah punya pacar belum?” Kegan langsung menekan pundak Arvel yang baru saja mengeluarkan pertanyaan itu,

“Gak ada pacar-pacaran sekolah dulu,” ucap Domicia menatap ketujuh adiknya itu secara bergantian, Basudeo, Affandra, Aydan, Edhan, Ailesh, Avanesh dan terakhir Dayana, “Awas aja nilainya pada terjun bebas, Dayana juga, Dayana osiskan?”

“Jagain Fand,” ucap Aidan ikut menimbrung ucapan Domicia sebelumnya,

“Iya lah mas dijagain,”

“Tenang aja bro, punya 6 bodyguard doi disekolah,” ucap Basudeo kepada para masnya itu,

“Mas Kayvan kapan pulang?” ucapan Ailesh sukses membuat Dayana menoleh dengan wajah bertanyanya, “Ah itu, mas Kayvan itu mas tertuanya dari mas Kegan, entar deh ya gue jelasin silsilah keluarga rame ini,” ucapan Ailesh langsung membuat seluruh saudaranya tertawa,


“Hai,” ucap Byantara duduk disamping kursi taman belakang yang sedang diduduki oleh Dayana pula, “Alesh sama Anesh mana?”

“Di dalem lagi mau ngambil gatau apa,”

“Kamu gapapa kan?”

“Hah? Oh gapapa mas hehe,”

“Belum terbiasa ya?” ucapan Byantara hanya dibalas anggukan kepala dan senyuman singkat oleh Dayana,

Byantara menghela napasnya, “Kamu hebat. Bertahun-tahun bertahan, tanpa tau mana yang benar, terus 2 tahun bertahan tinggal sendirian,” Byantara menengokkan kepalanya kearah Dayana, “Maaf ya, karena kita semua baru sekarang nemenin kamu,” Byantara tertawa singkat kala melihat Dayana masih menatap kearah depannya, “Sekarang gak perlu nahan nangis lagi, tenang aja, udah banyak yang bakal ngelindungin kamu, udah banyak juga yang bakalan,” Byantara menggoyangkan tangannya seakan menebas sesuatu dengan lengannya, “Bas bas bas! Siapapun yang buat kamu nangis,”

“Iya sekaran mas sini yang aku tebas gara-gara bikin Dayana jadi mau nangis,” suara Ailesh mengintrupsi mereka berdua, membuat keduanya menoleh lalu tertawa karena ucapannya,

Dayana menatap langit luas diatasnya, seraya tersenyum.

Makasih bun, mah, pah, ucapnya didalam benaknya seraya masih tersenyum,

“Dayana, ayo pulang. Mas Arvel sama mas Cia anterin,” Arvel datang secara tiba-tiba ketengah mereka berempat yang sedang mengobrol dengan Dayana.


*teu nanaon : gapapa *kitu : gitu

chapt. twenty-first -

“Pulang bareng gue kan?” Ailesh mengalihkan pandangannya kearah belakang meja yang ia tempati bersama kembarannya itu,

Dayana yang merasa ditanya oleh Ailesh menggelengkan kepalanya, “Gue bareng Bian sama Kayana aja,”

“Ha-Arghh anjir,” Fabian yang mengerti kode yang diberikan Dayana yang tepat berada disampingnya itu hanya menganggukkan kepalanya saja,

“Beneran?” selidik Ailesh dengan menatap kedua manik mata Dayana,

Dayana menganggukkan kepalanya sekali lagi, “Beneran, kalo gitu gue duluan ya, mau langsung shift cafe soalnya,” Dayana langsung berlalu meninggalkan Ailesh dan Avanesh seraya menarik tangan sebelah kanan Fabian

“DAY!!”

“YA!! DAYANAA!!”

Panggilan keras Ailesh tidak dihiraukan oleh Dayana,

“Lo kenapa sih Day? Biasanya oke oke aja mereka ajak pulang atau bahkan berangkat bareng,”

Dayana menghela napasnya, lalu mengangkat kedua bahunya, “Gue juga gak paham kenapa gue mau mau aja,” ucapnya lagi dengan nada melemah,

“DAYANAAAA,” panggilan riang dari seorang gadis membuat Fabian dan Dayana menengokkan kepala mereka kearah belakang,

“Aduh duh, sakit ih,” ucap Dayana dengan nada sedikit dibuat-buatnya kepada Kayana yang tadi memanggilnya, dan langsung menggenggam lengannya itu, “Gue hari ini langsung ke cafe,” ucap Dayana dengan cepat

“Tumben Day,” ucap Fabian kepada Dayana kala mereka telah sampai didepan gerbang sekolah mereka,

Dayana hanya bisa tersenyum dan kembali mengangkat kedua bahunya.


Dayana mengikat rambut panjang kecoklatannya, seraya meneguk minuman soda dingin yang ada ditangannya,

“Day, dipanggil mas Bagas,” ucap Elissa, rekannya dicafe itu,

“Dimana?”

“Ruangannya,” ucap Elissa kepada Dayana, “Lo gapapa kan Day?” ucapnya lagi kepada Dayana,

Dayanapun menggelengkan kepalanya seraya tersenyum, “Khawatir banget sih lu,” ucapnya sambil tertawa dan menepuk pundak Elissa, seraya berlalu meninggalkan temannya itu.

Dayanapun mengetuk pintu kayu dengan ukiran naga didepannya, seraya menunggu dengan sedikit gelisah, Gue kenapa deg-degan gini dah batinnya seraya menunggu pintu didepannya terbuka,

“Masuk, Day,” ucap Bagas ketika membuka pintunya dan melihat Dayana dibalik pitu itu,

Dayana duduk dengan sedikit gelisah, seraya terus memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi beberapa menit kedepan, didepannya kedua laki-laki yang ia ketahui sebagai relasi dari bosnya itu, “Mas ini ada apa ya?”

“Dayana kan ya?” ucap seseorang yang lebih tinggi dari laki laki disampingnya, berpakaian lebih rapih dan formal dari laki-laki disampingnya, yang hanya memakai jaket bomber yang dipadu oleh topi yang dipakai secara terbalik dan kacamata yang menghiasi penampilannya.

“Iya, kenapa ya?” ucap Dayana menjawab laki-laki itu,

“Ramadella,” ucap Rama seraya mengulurkan tangannya, “Ramadella Ananta-”

“Kentara,” ucap Dayana menyambung ucapan Rama,

“Kamu sudah tau atau menebak pasti karena dokter yang tadi malam ya?” ucapnya kepada Dayana yang langsung dibalas anggukkan oleh Dayana, “Ini,” Rama mengeluarkan kedua barang yang dibawanya, berkas hasil DNA dan kalung berliontin merah milik keluarganya, “Bukti kamu salah satu dari kami,”

Dayana membeku. Namanya tertera diberkas yang ada dihadapannya itu bersama dengan nama orang lain yang dia tidak kenali, 99% batinnya ketika melihat angka yang tertera disana,

“Tapi-”

“Kalungnya beda ya? Ini udah diubah biar bisa dipake sama laki-laki gitu soalnya-”

“Sebentar, jadi maksudnya aku itu?”

“Adik kita berdua,” ucap seseorang yang berpakaian dengan jaket bomber dan topi itu, Davendra.

Dayana menampilkan wajah terkejutnya dengan masih terdiam, pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan, “Aku-”

“Semua pertanyaan yang ada dikepala kamu, bakalan mas jawab, satu-satu,”

“Gimana kalo kamu dateng makan malam hari ini?”

“Hah?” Dayana terkejut dengan ucapan Davendra, matanya melihat kearah Rama dan Davendra secara bergantian,

“Dijemput sama Ailesh atau Deo?” ucap Davendra lagi dengan mata berbinarnya, ia tidak mengerti mengapa didalam dirinya sangat amat senang,

Dayana berpikir sebentar, dengan masih memikirkan banyak hal,

“Day?” ucap Rama membuyarkan lamunan Dayana karena selama beberapa menit tidak ada jawaban dari perempuan didepannya,

“Ailesh, dijemput sama Ailesh aja,” ucap Dayana seraya sedikit tersenyum canggung,

Davendra dan Ramapun langsung tertawa karena melihat sikap Dayana yang sedikit canggung dan salah tingkah itu, “ Haha kamu santai aja astaga, jam 7 dijemput yaa, gimana?” ucap Davendra dengan masih tertawa diikuti oleh Rama yang sedikit tertawa juga,

“Iya boleh,” ucap Dayana seraya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, pikirannya sangat ramai, dipenuhi dengan banyak pertanyaan pertanyaan dan juga membayangkan beberapa hal yang mungkin terjadi nanti,

Gimana kalau mereka banyak yang gak suka? ucap Dayana pada dirinya sendiri, seraya menuang air mineral dicangkirnya, kala ia telah kembali keruangan khusus pegawai yang ada dicafe itu.


[⚠️⚠️⚠️ Warning! it might be sensitive content for some of you so please please be careful ! Kalo kamu punya anxiety atau panick attack/yg berhubungan dengan semacamnya. Please jangan dibaca ya. Jangan ngeyel!!⚠️⚠️⚠️]

[mention of panick attack, etc]


twentieth chapt. -

Buggg! Bugg!! Buggg!!!

Suara tinjuan keras mengakhiri semuanya, Davendra memeluk samsak tinju hitam yang berada dipojok kamarnya, peluh keringat membasahi tubuhnya dengan nafasnya juga yang kian terengah,

Davendra memejamkan matanya, dan menghela napasnya, tubuhnya terjatuh terduduk dilantai marmer kamar bernuansa hitam dan coklat kayu itu,

Tubuh Davendra bergetar, diikuti suara isakannya yang tersedu, dan lagi, detak jantungnya memburu seperti biasanya, kala dirinya dikerubungi dengan perasaan panik menggebu,

“Dav? Gue masuk ya,” ucap seseorang dibalik pintu kamarnya, Davendra tau orang yang berada dibalik pintu itu pasti sudah tau keadaannya sekarang,

“Hey?” Orang itu langsung menghampiri dirinya yang sedang tertunduk, dilihatnya jari jari kaki panjang yang berada didepan Davendra saat ini, tak lama tubuhnya dirangkum oleh kedua lengan panjang, membuat tangisannya tersedu semakin keras,

“Ven, its okay, lo gak perlu panik,”

“Gu-gue le-mah banget ya mas, padahal gini do-ang,” Davendra mengucapkannya secara terbata dan tersedu-sedu,

“Yang lemah disini bukan cuman lo doang kok,” ucap mas tertua dari Kentara bersaudara itu, Ramadella, meletakan kepalanya diatas kepala adiknya itu, “Kita semua lemah, kita semua sakit, tapi kita semua juga berusaha buat nyembuhin semuanya kan, Ven? 10 tahun, lo pikir gue gak tau apa yang kalian semua alamin. Lo dan Kayvan yang masih berusaha buat nyembuhin diri sendiri dari panic attack dan trauma sama pesawat, Byant yang ngerasa bersalah karena dihari itu gak bisa nemenin Kegan dan akhirnya Kegan yang jadi lebih tertutup setelahnya sama dia, Aidan yang masih pura pura kuat buat Cia sama Arvel, dan para adik-adik kembar lo itu, Cia, Arvel, Deo, Affand, Ed, Ay dan 2 kembar bocil yang sama-sama neken egois mereka, buat satu sama lain, karena punya pikiran kalo yang mereka punya saat ini sampe nanti ya cuman satu sama lain, padahal gak gitu, kan?” Setetes air mata Rama berhasil lolos kala ia menyelesaikan kalimat panjangnya,

“Sampai saat ini, kita masih berusaha buat bangkit ya mas, padahal itu udah lama banget. Pasti kalo seandainya nih kita ketemu sama mereka, kita diomelin abis-abisan,”

Rama terkekeh mendengarnya, “Makanya kalo gakmau diomelin kita harus kuat, Ven.”

“Kuat lah, ya kali enggak,”

ucapan Daven berhasil membuat keduanya tertawa dengan masih saling memeluk satu sama lainnya.

nineteenth chapt. -

“Iya jadi gitu,” ucap Dayana kepada suara bariton disambungan telfon itu,

“Tapi lo beneran gapapa?”

“Gapapa sumpah, gak ada yang luka juga,” ucap Dayana seraya melihat kearah pantulan dirinya dan tersenyum,

“Yaudah kalau gitu, kalau ada apa-apa bilang, oiya entar ada mofood nganterin cream soup yaa,”

“Eh? Gausah sumpah deh,” ucap Dayana dengan nada sedikit tidak enaknya,

“Udah gapapa santai. Eh btw Day-”

“Rey? Gue tutup dulu ya, ada yang ngetok kamar gue,” setelahnya Dayana langsung berdiri guna membukakan pintu kamarnya,

Seorang laki-laki telah berdiri dihadapannya dengan pakaian dan tatanan rambut yang teramat rapih, “Dayana kan?”

Dayanapun langsung membalasnya dengan anggukkan kepala.


“Udah ngumpul semua kan?” Rama melihat kesekitar ruangan, mengabsen satu persatu dengan tatapan matanya, “Oke kita mulai,”

“Halo?” suara bariton Kayvan terdengar dari speaker yang berada disekeliling ruangan, “Kedengeran gak suara gue?”

“Kedengeran,” ucap semua yang ada dalam ruangan tersebut,

“Oke, sebelum mulai gue mau kalian semua dengerin atau liat kali ya? Pokoknya perhatiin ini dah,”

“Lo jadi mau ngambil jurusan apa?”

“Gue jadinya teknik aja ah,”

“Lah lo lintas jurusan?”

Kedua suara yang saling bersautan yang terdengar dari speaker diruangan tersebut membuat semua mata mengalihkan pandangannya kedua orang yang memiliki suara tersebut, Aydan dan Edhan, sedangkan kedua orang yang memiliki suara tersebut menampilkan wajah bingungnya, karena pasalnya obrolan yang tadi terputar merupakan obrolan yang tadi mereka lakukan di toilet sekolah mereka, setelah mereka mendapatkan kabar bahwa sang mas tertua ingin tau perihal jurusan yang akan mereka ambil,

“Liat dah muka pongonya si Edhan,”

“Mas laper deh,”

Suara Aidan dan Avanesh terdengar jelas dari speaker diruangan itu, setelahnya tampilan profil dari Aidan dan Avanesh terpampang jelas dilayar besar didepan mereka,

“Mas ini apa si?” ucap Basudeo yang mulai penasaran sebenarnya apa yang ingin masnya tunjukan,

Layar kembali lagi ke panggilan yang menampilkan wajah Kayvan disana, “Itu semua hasil dari kalian kalau pakai cincin yang mas kasih. Cicin itu bisa ngerekam apa aja yang kalian omongin, termasuk siapa yang ngomong, dan data diri dari orang yang ngajak kalian ngomong, terus,” Tampilan dilayar berubah menjadi sebuah peta dengan titik koordinat dan beberapa titik merah seperti pertanda disalah satu lokasi, “Dia juga bisa ngebaca lokasi kalian sekarang, dan kondisi tubuh kalian saat ini,” ucap Kayvan kepada orang-orang yang berada didalam layar laptopnya itu,

“Dengan kata lain, cicin itu ya buat mantau kalian,”

“Tapi mas kan kita juga punya privacy untuk gak diketahuin gitu loh, maksudnya-” ucapan Arvel terputus dengan kekehan dari Kayvan,

“Selama kalian udah dirumah, alatnya mas matiin,” ucap Kayvan kepada mereka semua

Semua yang ada disanapun terdiam, memikirkan semuanya, bagaimana dampaknya untuk mereka dan lain halnya,

“Ceritain aja Kay,” ucap Rama secara tiba-tiba meruntuhkan lamunan beberapa orang yang berada disana,

Davendra yang berada disamping Rama langsung menengokkan kepalanya, “Mas?”

“Gapapa, biar mereka ngerti dan paham lagi disituasi gimana,”

Kayvanpun langsung menghela napasnya, sebenarnya ia sangat percaya akan keputusan Rama, karena ia tau keputusan Rama selalu benar dan tepat sasaran,

Akhirnya malam itu diakhir dengan dongeng cerita dari seorang Kayvan dan kehidupannya didunia gelap Italia.

eighteenth chapt.

-

Byurrr

Suara air berwarna kecoklatan dari ember yang ditumpahkan oleh sekelompok perempuan yang Dayana kenal adalah kakak kelasnya itu berhasil membuat sekujur tubuhnya basah,

“Aduh maaf ya gak sengaja,” ucap seorang perempuan berambut panjang hitam legam, dengan cardigan bermerek terkenal yang ia pakai untuk menyempurnakan seragam sekolah yang ia pakai,

“Aduh jadi basah deh, yah maaf yaa,” ucapnya seraya berlalu keluar kamar mandi dengan diikuti kedua temannya yang lain seraya tertawa mengejek Dayana,

Dayana tersenyum simpul, dilihatnya pada pantulan kaca rambutnya yang basah, dan baju seragamnya yang kini tidak kalah basah dengan rambutnya, “Udah biasa kan Day?” ucapnya kepada pantulan dirinya,

Hari ini tidak ada Kayana yang menemaninya, makanya mungkin orang-orang yang memang biasa menganggunya kini berulah kembali, ya, selama ada Kayana biasanya mereka akan takut atau bahkan enggan mengganggunya, tapi hari ini, Kayana tidak bisa disampingnya,

“Gak boleh, gak boleh bergantung sama orang terus Day,” ucap Dayana lagi kepada dirinya sendiri seraya menyeka air matanya yang hampir lolos itu,

Dayana keluar dari toilet yang lumayan jauh dari kelasnya itu, berusaha menyembunyikan wajahnya dari penglihatan beberapa kakak kelasnya yang baru saja keluar dari kelasnya masing-masing, karena pasalnya memang bel pulang sekolah baru saja berbunyi, dan sialnya dirinya tadi ditarik kedalam toilet yang memang cukup dekat oleh beberapa kelas yang diduduki oleh siswa kelas 11 dan 12 disekolahnya,

Pandangan disampingnya tiba-tiba gelap, diikuti oleh rasa berat yang ada dikepalanya dan sedikit wangi woody dan citrus yang tercium sangat kuat, “Terus jalan, jangan berenti,” ucap suara bariton bernada rendah yang ia tidak tau siapa itu, diikuti dengan rangkulan dibahunya pula,

Beberapa menit berlalu, Dayana masih menunduk dan lama kelamaan ubin putih yang biasa ia pijak didalam sekolah berganti dengan batu abu-abu yang tersusun rapih yang menandakan ia telah keluar dari pekarangan sekolahnya dan beralih kearea parkiran sekolahnya,

“Lo lama bang- anjir ini siapa?” ucap suara bariton lainnya yang memang sedikit agak ringan dari sebelumnya, yang berhasil membuat Dayana akhirnya menengadahkan kepalanya,

“LOH! DAY?! KOK BISA?!” ucap laki-laki didepannya dengan nada terkejut

“Masuk dulu kemobil deh, gaenak kaya topeng monyet gini, jadi tontonan,”

Dayana melihat kearah laki-laki berhoodie biru mint yang berada didepannya, seketika laki-laki itupun menganggukkan kepalanya,

“Ini gak ada yang didepan?”

“Sabar dulu napa sih Ed,”

Yap, kedua laki laki yang berada dengan Dayana saat ini adalah Aydan dan Edhan, dirinya kini telah duduk manis dijok belakang mobil mercedes-benz hitam milik Aydan,

“Day luka,” ucap Aydan yang melihat kearah sudut bibir dari Dayana, “Jangan dipegang!” ucapnya dengan nada serius, “Ed, tolong p3k dong,”

Edhan yang sedang memainkan smartphonenya, langsung beralih kearah laci dashboard disampingnya, mengambil kotak berwarna putih yang memang selalu ia bawa kemanapun itu, mengingat dirinya yang memang agak urakan itu,

Edhan melirik dari arah spion depannya kala Aydan mengobati luka Dayana, “Ay, kayanya kita keluar sebentar deh. Day, itu disitu ada hoodie putih kan? Lo ganti ya pake itu,”

“Hoodienya bersih kok, tenang aja Edhan udah disuntik,”

Edhan melemper tumpukan recehan yang sedang ia rapihkan kearah Aydan, “Sembarangan lo, lo kira gue apaan,”

Edhan dan Aydanpun langsung keluar dari mobilnya, meninggalkan seorang Dayana,

“Siapa?” ucap Aydan kala Edhan telah berdiri disampingnya, Edhan hanya bisa mengangkat kedua bahunya seraya menggelengkan kepalanya,

“Mas! Ini tasnya, Dayana mana?” ucap Ailesh yang baru saja berlari bersama Avanesh guna menghampiri kedua masnya itu diparkiran sekolah,

“Ada didalem, lagi ganti baju,”

“Pake baju apa?” ucap Avanesh dengan wajah bingungnya,

“Hoodienya mas Ed,”

Jawaban Aydan sukses membuat kedua adiknya yang berada didepannya saat ini terkejut, “Hah? Gak salah?”

“Hoodie baru itu,” ucap Edhan yang ia paham maksud dari kedua adiknya itu, bukan bukan maksud seorang Edhan bau badan, pasalnya biasanya hoodie seorang Edhan ini sudah bertumpuk bau rokok, bau knalpot, dan terkadang bahkan ada percikan darah dari bekas ia berkelahi dengan siapapun itu,

“Dayana mas yang nganter kan? Soalnya Alesh sama Anesh mau langsung pulang kerumah, udah ditunggu mas Abi soalnya,” ucap Anesh yang langsung dibalas anggukkan oleh Aydan,

“Mas juga abis nganter Day langsung kerumah, mas Tomi udah nunggu juga,”

“Yaudah kalau gitu, Byeee!!” ucap kedua adik kembarnya itu seraya melambaikan tangannya dan berlalu,

Dayana menurunkan kaca mobil disampingnya, “Kak...”

“Eh udah? Yaudah yuk langsung pulang,” ucap Aydan yang langsung masuk kedalam mobil diikuti oleh Edhan

“Day kita langsung nganter kamu gapapa kan? Soalnya kita udah ditungguin guru privat dirumah,”

“Eh iya gapapa kok kak, malah makasih banget,”

Dan lirik lagu Cruel dari Jeff Bernat yang langsung menggantikan suara dari ketiganya, dan mengisi kekosongan yang ada pada mobil mercedes-benz hitam milik Aydan hadiah dari kembarannya itu.

perjalanan kasih sayang. -

Tringg!

Bernando Yudhis atau yang lebih akrab disapa Bernand atau Nanand oleh orang terdekatnya ini, menatap lurus kearah ruang obrolan antara dirinya dengan sahabatnya sejak masih ditaman kanak-kanak itu, ia menghela napasnya dengan perlahan,

“Apa lagi yang dikirim ini bocah,” gumamnya dengan nada kesal sedikit pasrah itu, pasalnya sahabatnya yang satu ini memang kerap mengirimkan beberapa quotes atau link dari beberapa tulisan yang menurut sahabatnya itu sangat cocok dengan dirinya,

Bernando menghela napasnya, seraya memejamkan matanya sebentar, walaupun dirinya kesal ia masih bisa memahami maksud baik dari sahabatnya itu,

Disiapkannya hatinya sebentar sebelum membuka link sebuah halaman wordpress dari sahabatnya itu,

Beberapa kata demi kata diawal sudah sangat menjurus pada keadaan dirinya sekarang, hanya bedanya si penulis telah hendak beranjak dari tempatnya,

......Ketahuilah bahwa, beberapa perasaan memang tidak ingin abadi. Mereka hanya ingin dititipkan dan dilepaskan di waktu yang baik. Dan kini aku sadar bahwa kamu tidak akan pulang. Ya, itu jawaban sekaligus keputusan dari semua tanda tanya di kepalaku.

Maka sudah, berakhir sudah semua cerita dan puisi yang berkaitan tentang kamu dan aku.  Semua tokoh didalam nya akan menjadi semesta baru yang aku sendiri pun tidak punya kendali.

Kita ngga akan pernah tau akan ketemu lagi atau engga, karna itu semua kendali nya waktu. Tapi kali ini aku ngga akan lagi berusaha. Kita sudah terlalu sering berusaha dan kegagalan ternyata jadi puncak mimpi yang selalu kita temukan dan itu yang buat kita capek.

Kamu benar, yang jauh bukan jarak antara kita, tapi keyakinan ku pada semesta mu. Agak menyedihkan memang kalau selama ini kita bertahan untuk waktu kasih jawaban pasti dan jawaban pasti nya tetap “enggak”. Lihat bagaimana dunia ini menertawakan kita.

Tapi gapapa, perpisahan juga bagian dari perjalanan kasih sayang. (*)

Beberapa bait terakhir didalam tulisan itu berhasil membuat diri seorang Bernando seakan terbangun dari mimpinya, ia berpikir sang penulis benar, bahwa beberapa perasaan memang tidak ingin abadi, dirinya kalah lagi oleh sahabatnya yang mengirimkan link tulisan tersebut, karena sekali lagi dirinya tertampar bahwa seseorang yang saat ini tengah terekam didalam pikirannya tidak akan kembali lagi, ia sudah bahagia dengan pilihannya.

“Woiii! Ngelamun aja bray,” ucap seseorang bernada bariton rendah seraya menepuk pundaknya yang berhasil membuat Bernando kembali masuk kedalam kehidupan nyatanya, “Udah dibaca?” ucap seseorang itu lagi.

Bernando hanya bisa menganggukkan kepalanya kepada sang empu pemilik suara bariton itu, dengan masih menatap langit sore dihadapannya yang memang sedang berada dirooftop rumah tingkat berlantai 3 yang memang dipakai menjadi basecamp dan studio bandnya itu.

“Terus gimana?”

“Ya gak gimana-gimana lah J, emang lu mau gue gimana?” tanyanya kepada sahabatnya itu, Jaffar, sang pemilik suara bariton rendah tadi, seraya membaringkan tubuhnya dilantai beton rooftop.

Jaffar menghela napasnya, seraya memeluk kedua lututnya, “Ternyata gak mempan juga?” ucap Jaffar pasrah kepada Bernando yang membuat seorang Bernando langsung terkekeh.

“Bukan gak mempan J, cuman masih belum aja, ada beberapa kata dari yang tadi lo kirim bikin gue sadar kok,”

“Ternyata persaan emang ada yang dibuat tidak abadi itu?”

“Bahwa beberapa perasaan memang tidak ingin abadi anjir, ganti-ganti aja lu,” ucap Bernando mengoreksi sahabatnya itu,

“Ya sama aja kan artinya?” Jaffar menghela napasnya pelan, “Tapi lo sadar kan kalau cewek itu udah gak bisa kembali lagi?”

“Cewek itu punya nama Jaffar Adrian,”

Jaffar berdecak sebal mendengar ucapan sahabat disampingnya itu, “Iya dia lah pokoknya, udah ogah banget gue ngucap namanya,”

Bernando terkekeh pelan, ia tau seberapa bencinya sahabatnya ini dengan masa lalu dirinya, seorang perempuan yang ia berhasil kencani selama 5 tahun, tetapi kandas saat dirinya sedang sibuk merintis karirnya, alasan utama mengapa sahabatnya ini sangat membenci perempuan itu juga dikarenakan ternyata perempuan itu telah main dibelakangnya bersama salah satu kakak sepupu yang dekat dengannya selama 1 tahun, dan bahkan saat ini telah berencana melangsungkan pernikahan,

Kenyataan pahit mulai terulang lagi dikepala seorang Bernando membuatnya memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya kembali terbuka kala ia mendengar seretan sepatu dari arah sampingnya, yang menandakan orang disampingnya itu hendak beranjak,

“Mau kemana lu?” ucap Bernando seraya kembali duduk diatas lantai beton rooftop itu,

“Beyi udah sampe,” ucap Jaffar seraya membenarkan tali sepatunya yang terlepas,

“Oiya nih, bread pudding dari Anish, tadi dia nitip ke gue pas mau berangkat kesini,”

Bernando menghela napasnya lagi, ia tau betul siapa Anish, perempuan yang beberapa bulan ini mencoba meruntuhkan pertahanannya,

“Nand, waktu itu lo nanyakan sama gue, gimana gue bisa moveon dari rasa kehilangan?” Jaffar menatap lekat kearah Bernando, “Jawaban gue cuman satu hal, Nand.” ucapan Jaffar itu sukses menimbulkan ekspresi tanya diwajah Bernando,

“Siap.” ucap Jaffar singkat, “Kenapa gue bisa moveon dari rasa kehilangan, karena gue siap Nand buat moveon, gue siap buat nerima semua hal baru yang semesta dan waktu bakal kasih selanjutnya, dan gue siap ngelangkah bahkan lari buat apapun yang terjadi nanti, asal gue berpindah dari tempat yang sebelumnya gue tempati lama,” ucap Jaffar kepada Bernando, yang membuat Bernando diam membeku,

Jaffar menghela napasnya, lalu menggelengkan kepalanya, “Udah ada yang mau narik lo keluar dari tempat sebelumnya Nand, tinggal gimana lo siap atau enggak ngelanjutin perjalanan kasih sayang yang lo punya,” ucap Jaffar seraya menepuk pundak Bernando dan berlalu menghilang dibalik pintu yang menghubungkan rooftop dengan sebuah tangga.

Bernando memang masih diam membeku akibat ucapan sahabatnya itu, tetapi pikirannya berhasil berjalan membayangkan bagaimana dirinya nanti, “Siap?” ucapan tanya dari dirinya sendiri yang ditunjukkan untuk dirinya juga.


(*) credit to one of my best advisor in real life, https://amalianggitah.wordpress.com/2021/07/26/bulan-ke-7-surat-terakhir/