chapt. twenty-third. -
Dayana melirik kearah Rama beberapa kali, “Kenapa? Ada yang mau dibilang ke mas?” ucap Rama dengan masih fokus kearah layar lebar didepannya,
“Ah eng- ini mas,”
Rama menengadahkan kepalanya ke arah Dayana, dengan kacamatanya yang sedikit lebih longgar, “Arvel lagi?” ucapnya yang langsung membuat Dayana tersenyum dengan salah tingkah,
“Aish anak itu,” Rama segera menyambar handphonenya dan menelfon seseorang,
“Halo? Kamu udah ngecek m-banking kamu belum?” ucap Rama seraya masih melirik kearah layar lebar didepannya, “Ya makanya dicek dong, dari tadi udah mas transfer buat kamu berdua Cia nganterin bi Darmi,”
“Iya makanya dicek sekarang, abis itu langsung berangkat keburu sore nanti,” ucapan terakhir dari Rama langsung membuatnya mematikan sambungan telpon itu pula,
Dayana meletakan tasnya diatas tempat tidurnya, seraya melepas kaos kaki yang baru saja ia pakai dan melemparnya ke arah keranjang berwarna coklat didepannya,
Obrolannya dengan Rama masih terngiang dalam pikirannya, ucapan Rama yang jelas-jelas memintanya untuk pindahpun masih terus berlarian, ia tidak bisa memutuskan dengan cepat akan permintaan Rama, walau dalam hatinya sebenarnya sudah lama ia mengingkan suasana rumah yang ramai.
Dering telfon Dayana menghamburkan semua lamunannya, nama “Kayana” terpampang dilayar smartphone itu,
“Kenapa Kay?” ucapnya segera setelah menekan tombol hijau dilayarnya,
“Lo dimana Day?“
“Dikosan, kenapa?” jawab Dayana dengan cepat, ia merasakan ada yang tidak beres dari suara Kayana malam ini,
“Besok lo bisa kerumah gak? Mami nanyain,“
Seketika lidah Dayana kelu, setelah pengakuan Wendy beberapa hari lalu, didalam dirinya masih belum bisa memaafkan wanita yang seumuran dengan bundanya itu,
“Day?“
“Kay, lo kan-”
“Kenapa? Lo masih belum bisa maafin mamih?” Kayana mengucapkannya dengan sedikit bernada tinggi,
“Lo tau kenapa gue belum bisa maafin mamih kan,”
“Tapi lo udah bisa dengan senang hati menerima para mas-masnya Alesh dan Anesh itu,“
Dayana menghela napasnya dengan kasar, “Kenapa lo jadi ngebahas mereka?”
“Karena kita lagi ngebahas lo gak bisa maafin mamih karena masalah lo yang bukan anaknya bunda,“
Dayana berdecak dengan jengkel, “Gue lagi gamau bahas ini Kay, please,”
“Kenapa? Lo gak tau seberapa sakitnya mamih pas chatnya atau telfonnya gak lo bales atau angkat, selama ini dia udah bantuin lo Day, kalo gak ada mamih, lo bisa apa sekarang? jangan kacang lupa kulitnya,“
“Lo mikirin mamih sampe segitunya? Tapi kenapa lo gak mikirin gue yang sebagai korban disini Kay? Apa lo pikir gue udah nerima semuanya, ENGGAK KAYANA ENGGAK,” Dayana meninggikan suaranya kala menjawab ucapan Kayana dengan bulir air mata yang sudah memupuk di pelupuk, “Lo pikir gue udah bisa nerima? Lo pikir selama ini gue ngerasa enak ngebebanin keluarga lo? Lo pikir gue disini enak? ENGGAK KAY, ENGGAK! Gue selama ini sakit, gue selama ini nahan untuk gak ngerepotin siapa-siapa, dan secara gak langsung lo bilang kalo selama ini mamih ngebiayain gue?” Dayana tertawa mengejek, “Bukannya semua uang yang biayain gue itu udah diatur semua sama mendiang orang tua gue?” Dayana terdiam sebentar, “Gue cuman mau ngerasain rasanya punya keluarga yang bisa ngasih gue kasih sayang dengan banyak Kay, bisa gak lo gak usah ikut campur sama semuanya?”
Dayana langsung menutup sambungan telponnya dengan Kayana,
Kakinya melemas, tubuhnya langsung terduduk dilantai, bulir air mata yang tertahan dipelupuknya telah terjun bebas membasahi pipinya, “Apa gak bisa sekali ini aja gue melampiaskan semua kesalahan ke orang lain, apa gak bisa sekali ini aja biarinin gue buat bisa bergantung sama orang,” Isakan tangisan Dayana terdengar cukup keras, semua hal yang telah ditahannya selama beberapa hari ini ternyata tumpah seketika,
Selama beberapa hari ini ia berpikir bahwa dirinya baik-baik saja, tapi ternyata tidak, semuanya hanya ia simpan sendiri didalam dirinya, semuanya hanya ia pendam untuk dirinya sendiri, atau bahkan ia pendam agar semuanya tidak meledak, tapi kenyataannya malam ini, semua pahit dihatinya meledak sempurna.
Kenapa bund, kenapa bukan bunda yang ngasih tau aja, Isakan tangisnya semakin sesak, kepalanya semakin tertunduk, buliran air matanya semakin deras mengalir kearah pipinya.