nineteenth chapt. -

“Iya jadi gitu,” ucap Dayana kepada suara bariton disambungan telfon itu,

“Tapi lo beneran gapapa?”

“Gapapa sumpah, gak ada yang luka juga,” ucap Dayana seraya melihat kearah pantulan dirinya dan tersenyum,

“Yaudah kalau gitu, kalau ada apa-apa bilang, oiya entar ada mofood nganterin cream soup yaa,”

“Eh? Gausah sumpah deh,” ucap Dayana dengan nada sedikit tidak enaknya,

“Udah gapapa santai. Eh btw Day-”

“Rey? Gue tutup dulu ya, ada yang ngetok kamar gue,” setelahnya Dayana langsung berdiri guna membukakan pintu kamarnya,

Seorang laki-laki telah berdiri dihadapannya dengan pakaian dan tatanan rambut yang teramat rapih, “Dayana kan?”

Dayanapun langsung membalasnya dengan anggukkan kepala.


“Udah ngumpul semua kan?” Rama melihat kesekitar ruangan, mengabsen satu persatu dengan tatapan matanya, “Oke kita mulai,”

“Halo?” suara bariton Kayvan terdengar dari speaker yang berada disekeliling ruangan, “Kedengeran gak suara gue?”

“Kedengeran,” ucap semua yang ada dalam ruangan tersebut,

“Oke, sebelum mulai gue mau kalian semua dengerin atau liat kali ya? Pokoknya perhatiin ini dah,”

“Lo jadi mau ngambil jurusan apa?”

“Gue jadinya teknik aja ah,”

“Lah lo lintas jurusan?”

Kedua suara yang saling bersautan yang terdengar dari speaker diruangan tersebut membuat semua mata mengalihkan pandangannya kedua orang yang memiliki suara tersebut, Aydan dan Edhan, sedangkan kedua orang yang memiliki suara tersebut menampilkan wajah bingungnya, karena pasalnya obrolan yang tadi terputar merupakan obrolan yang tadi mereka lakukan di toilet sekolah mereka, setelah mereka mendapatkan kabar bahwa sang mas tertua ingin tau perihal jurusan yang akan mereka ambil,

“Liat dah muka pongonya si Edhan,”

“Mas laper deh,”

Suara Aidan dan Avanesh terdengar jelas dari speaker diruangan itu, setelahnya tampilan profil dari Aidan dan Avanesh terpampang jelas dilayar besar didepan mereka,

“Mas ini apa si?” ucap Basudeo yang mulai penasaran sebenarnya apa yang ingin masnya tunjukan,

Layar kembali lagi ke panggilan yang menampilkan wajah Kayvan disana, “Itu semua hasil dari kalian kalau pakai cincin yang mas kasih. Cicin itu bisa ngerekam apa aja yang kalian omongin, termasuk siapa yang ngomong, dan data diri dari orang yang ngajak kalian ngomong, terus,” Tampilan dilayar berubah menjadi sebuah peta dengan titik koordinat dan beberapa titik merah seperti pertanda disalah satu lokasi, “Dia juga bisa ngebaca lokasi kalian sekarang, dan kondisi tubuh kalian saat ini,” ucap Kayvan kepada orang-orang yang berada didalam layar laptopnya itu,

“Dengan kata lain, cicin itu ya buat mantau kalian,”

“Tapi mas kan kita juga punya privacy untuk gak diketahuin gitu loh, maksudnya-” ucapan Arvel terputus dengan kekehan dari Kayvan,

“Selama kalian udah dirumah, alatnya mas matiin,” ucap Kayvan kepada mereka semua

Semua yang ada disanapun terdiam, memikirkan semuanya, bagaimana dampaknya untuk mereka dan lain halnya,

“Ceritain aja Kay,” ucap Rama secara tiba-tiba meruntuhkan lamunan beberapa orang yang berada disana,

Davendra yang berada disamping Rama langsung menengokkan kepalanya, “Mas?”

“Gapapa, biar mereka ngerti dan paham lagi disituasi gimana,”

Kayvanpun langsung menghela napasnya, sebenarnya ia sangat percaya akan keputusan Rama, karena ia tau keputusan Rama selalu benar dan tepat sasaran,

Akhirnya malam itu diakhir dengan dongeng cerita dari seorang Kayvan dan kehidupannya didunia gelap Italia.