twelfth chapt. -
“Day, ini gue. Boleh gue masuk?”
suara tanya Kayana yang berasal dari balik pintu coklat yang berada dibelakang punggung Dayana berhasil menghancurkan seluruh lamunannya,
“Sebentar,” Dayana menghela napasnya perlahan, menyiapkan seluruh dirinya lagi untuk menemui Kayana, setelah seluruh cerita misteri tentang dirinya dan kehidupannya yang sebenarnya, setelah beberapa pesan singkat yang ia berhasil keluarkan didalam kolom chat dirinya dan wanita yang dulu ia yakini sebagai ibu kandung itu, dan setelah beberapa tweet yang ia buat guna menghibur dirinya sendiri, ia harus mampu membenahi dirinya lagi,
ditatapnya pantulan dirinya didepan cermin memanjang dikamarnya yang memang biasa ia tempati kala sedang berkunjung kerumah Kayana, ia paksakan bibirnya yang sedikit pucat untuk menyunggingkan senyumnya, walau matanya menyorotkan dengan jelas bahwa dirinya sekarang memang sedang berada dikondisi yang tidak bisa dibilang baik, terlebih lagi bekas jejak air mata yang membuat matanya menjadi sedikit lebih sembab itu,
“Masuk Kay,” ucapnya kala ia telah kembali duduk dibangku panjangnya tadi, seraya menatap kearah bangunan-bangunan yang lebih rendah didepannya itu,
“Day...” Kayana telah duduk disebelah Dayana setelah sebelumnya menepuk pundak Dayana perlahan, membuat sang empunya mengalihkan pandangannya dengan senyuman yang berhasil ia paksakan,
Kayana menghela napasnya, ia sangat tau bagaimana Dayana, terlebih senyumannya yang berhasil ia terbitkan diwajahnya walau mata sembabnya tidak bisa ia sembunyikan,
Hening, beberapa menit setelah Kayana berhasil duduk disamping Dayana, mereka berdua larut tenggelam dengan pikirannya masing-masing,
“Waktu itu gue sering banget ngomong sama lo, kalo cerita-cerita yang diangkat dibeberapa film, drama korea, bahkan dibeberapa cerita novel yang pernah gue baca tuh gak akan ada yang sedrama kaya disana gitu,” Dayana menghentikan ucapannya dengan kekehan pilunya, “Eh tapi ternyata, hidup gue lebih drama dari itu,”
“Gimana ya Kay, kalau misalnya ternyata keluarga asli gue emang beneran gak mau gue hidup?”
“Day...”
“Kay,” Dayana menolehkan pandangannya kearah sahabatnya itu, “Gue gak butuh kata-kata manis untuk saat ini, sejak 2 tahun lalu, gue paham semua kata manis yang dilontarin orang lain kekita itu cuman sebagai healing sementara, cuman sebagai pelindung dibalik beberapa hal pait yang gak lama bakalan lo rasain lagi,” Dayana memejamkan matanya yang berhasil membuat air mata yang telah terkumpul jatuh dengan beraninya, “Gue cape.”
“Day, lo masih punya gue, mami sama papi,” ucap Kayana seraya mencoba mendekat kearah sahabatnya itu,
Dayana menggelengkan kepalanya seraya sedikit menjauhkan dirinya kala tubuh Kayana mendekatinya, yang berusaha ingin mendekapnya, “Rasanya beda, Kay,” ucapnya seraya menatap kearah netra kecoklatan didepannya, “Rasanya beda Kay,” ulangnya lagi, seraya menghela napasnya perlahan, lalu mengusap wajahnya dengan kasar dan tersenyum pilu, “Gue bahkan gak tau sekarang bedanya rasa sayang dari keluarga sendiri yang asli sama rasa sayang dari orang yang nganggep kita keluarga,” ucapnya lagi dengan air mata yang masih keluar dari sudut matanya,
“Gue kira dulu gue bisa bedain Kay, mana rasa sayang ibu kandung sama rasa sayang dari orang yang kita anggep ibu, tapi ternyata?” Dayana sedikit terkekeh sinis, “Bahkan ibu yang gue anggap ibu kandung gue sendiri aja ternyata seorang pembohong besar,”
“Dayana!” pekik Kayana memotong kala ia mendengar ucapan sahabat disampingnya, “Lo gak boleh ngomong gitu ke bunda Mayang, dia sayang sama lo, dia udah ngurusin lo sampe lo jadi kaya sekarang Day,”
“Maksud lo, gue gak boleh gak tau terima kasih gitu? karena bunda ah enggak, wanita itu udah mau ngerawat gue tanpa imbalan, gitu?” senyuman sinis Dayana tersungging lagi, setelahnya, “Lo gak denger tadi kata mami lo apa? orang tua kandung gue gak lari dari tanggung jawab gitu aja, bahkan sampai saat ini ntah siapa yang ada dibalik orang tua gue itu masih ngirimin uang bulanan ke rekening gue, dengan seolah-olah itu uang tabungan wanita itu kan?”
“Wanita itu bunda lo, Dayana,”
Dayana menghela napasnya, lalu beranjak dari tempatnya, mengambil tas yang tadi ia bawa untuk kerumah Kayana, “Lo mau kemana?”
“Bukan urusan lo,” Dayana gerah, menurutnya sangat percuma berbicara dengan siapapun sekarang, tidak akan ada yang mengerti bagaimana dirinya saat ini,
“Lo jangan keras kepala, ini udah jam 12 malem, Day.” Kayana menatap manik mata Dayana yang menyorotkan tanda entah itu kecewa, marah atau bahkan sedih secara bersamaan keluar dengan tajamnya,
“Biar gue yang keluar dari sini,” Kayana melepaskan genggamannya yang melingkar dipergelangan tangan Dayana, “Lo istirahat aja,”
“Good night Day,” ucap Kayana seraya tubuhnya hilang dibalik pintu cokelat itu,
setelahnya, Dayana luruh kepermukaan lantai kamarnya, memeluk kedua kakinya yang telah ia tekuk, menenggelamkan semua kepalanya, “Kenapa sih? kenapa semuanya kejadiannya dihidup gue?” monolognya dengak isakan yang menghiasi,
“Gue cuman sendirian disini, gue gak sekuat apa yang ada diluar yang biasanya orang lihat, gue gak sekuat apa yang diomongin Fabian atau Reyga, enggak, bohong, semuanya bohong,” Dayana mengucapkannya kepada ruang hampa yang berada didepannya seraya terisak dengan kerasnya, seakan tidak peduli jika ada yang mendengarnya,
“Kapan semuanya jadi tenang kaya dulu,”
“Kenapa mamah sama papah gak bawa gue sekalian ikut mereka,”
“Atau bahkan...”
“Bunda,” Dayana semakin terisak keras kala mulutnya berhasil melontarkan sebutan itu, pikirannya memutar beberapa memori yang dahulu ia rasakan bersama wanita yang dulu ia anggap sebagai ibunya, wanita yang dulu ia anggap sebagai ibu terbaik didunia karena mau membesarkan dirinya seorang diri kala pasangan hidupnya meninggalkannya,
potongan demi potongan memori berhasil keluar dari dalam lautan ingatan gelapnya, potongan kenangan saat dirinya merayakan hari ulang tahunnya, yang kala itu hanya ia rayakan berdua bersama bundanya itu, potongan kenangan ketika ia diajari mengendrai sepeda pertamanya, potongan kala ia membantu bundanya mendata para pasien diklinik pribadi bundanya itu, dan beberapa potongan lain kala dirinya dan wanita yang ia sebut bunda itu menghabiskan waktu berdua,
tiba-tiba suatu potongan kenangan berhasil lewat dipikirannya, kenangan saat dirinya dan bundanya itu mendatangi tiga makam yang bersejajar dihiasi batu nisan granit mewah, dengan tulisan emas menghiasi atasnya, ia tidak tau makam siapa, tapi kala ia tanyakan ke bundanya secara terus menurus disaat ia dan bundanya itu sangat sering mengunjungi ketiga makam itu, bundanya hanya akan menjawab nanti ia pasti akan tau atau akan ada saat nanti ia akan tau,
“Bidadari....” ucapan itu Dayana keluarkan secara spontan,
“Bidadari yang selalu hadir dimimpi gue ternyata mendiang...” batin Dayana, seraya menutup kedua mulutnya,
Kini semua teka-teki yang dahulu ia terus pertanyakan, satu-satu mulai terjawab.