titik nyaman.

-

Dellena melangkahkan kakinya dengan santai kearah pintu depan apartementnya saat mendengar bel yang berada didepan sana berbunyi, setelah melihat dari overviewnya, ia langsung membukakan pintu tersebut,

Rega yang berada dibalik pintu itu, ketika pintu telah dibuka, ia langsung ambruk mendekap gadis didepannya tanpa ada jeda waktu sedetikpun untuk mereka berdua menyapa satu sama lain,

Dellena menghela napasnya dengan berat, “Ga, masuk dulu, ini depan pintu banget gila,”

Regapun melepaskan dekapannya lalu langsung melangkahkan kakinya dengan gontai kearah sofa yang berada diruang tengah apartement Dellena,

“Nih minum dulu,” ucap Dellena seraya memberikan gelas kaca berisi air mineral kepada Rega, yang langsung diambil alih olehnya.

“Thanks Le,” Rega meneguk habis air yang diberikan Dellena, meletakkan gelasnya yang kosong dimeja kaca didepannya, lalu langsung menghambur mendekap Dellena dari samping, hingga posisinya seperti anak Koala yang sedang bertengger dibadan induknya,

Dellena hanya pasrah dan diam saja, sambil terus melihat aplikasi yang tadi ia pakai untuk memesan makanan untuknya dan sahabatnya ini, “Ga, gue udah pesenin sate dj ya, Gue lagi pengen itu soalnya tadi,” ucapannya dibalas anggukkan dari kepala yang berada dipundaknya itu,

“Gapapa kan?”

Rega mengangkat sedikit kepalanya dari tempatnya tadi diatas bahu Dellena, “Gapapa Le, gue juga tadi tiba-tiba kepikiran pengen makan itu, lo pesen buat gue ped-”

“Iyee pedes banget kok,” ucap Dellena memotong ucapan Rega yang langsung membuat Rega mengangguk sambil tersenyum dengan memamerkan giginya, dan mengucapkan thankyou tanpa suara dan langsung mengecup pundak Dellena yang tertutup kaus dengan singkat,

Keduanya sama-sama terdiam, Dellena yang masih didekap Rega dari samping, sedangkan Rega yang masih mendekap Dellena dengan erat seraya bergerak terus menerus mencari titik nyamannya,

“Lo bisa diem gak sih, Ga? Dari tadi gerak mulu, kaki lo berat tau dipaha gue ini,” Dellena tersungut seraya menepuk dengan keras kaki Rega yang memang sedari tadi berada diatas kedua paha Dellena karena posisi Rega yang memeluknya dari samping itu,

Regapun melepaskan dekapan peluknya dan duduk dengan menghadap televisi yang berada didepannya dengan mata yang masih terpejam, “Sini,” ucapnya seraya menepuk kedua pahanya,

Dellena yang mengerti maksud Rega hanya menggelengkan kepalanya tetapi langsung bergerak duduk diatas kedua paha itu,

“Mau sampe kapan Ga diem terus gini?” Dellena mengusap lembut punggung Rega, membuat lingkaran tangan yang berada dipinggang Dellena semakin erat,

“Ga?” Dellena sedikit menunduk, berusaha melihat wajah seseorang yang tiba-tiba mendekapnya dengan erat itu,

“Gue cape Le, gue cape banget,” Rega mengucapkannya dengan suara parau yang terdengar sangat lelah dikuping Dellena dengan sedikit terpendam karena kepalanya yang masih tenggelam diceruk leher Dellena,

“Semua orang nuntut gue buat a b c d, tapi mereka tuh gak ngasih solusinya, mereka semua tuh kaya pengen tau keadaannya gimana, tapi ketika udah tau yaudah gak ada feedback apa apa,” Rega menengadahkan kepalanya, menghela napasnya dengan kasar seraya mengalihkan pandangannya kearah pintu kaca balkon disampingnya,

“Gue tuh apa ya Le, kaya males banget cerita sama mereka semua karena ya itu percuma anjir gak bisa bantu-bantunya pisan, maksudnya kaya gue gabutuh telinga buat cuman dengerin gue, gue punya lo gitu yang jadi telinga gue, buat apalagi? Tapi kalo gue ga cerita sama mereka nanti kesannya gue nanggung semuanya sendiri,” Reka menghela napasnya lagi, mengusap wajahnya dengan kasar, “Serba salah kan gue jadinya Le,”

Dellena masih terdiam, menunggu seseorang yang didepannya itu menumpahkan semuanya kepada dirinya, “Udah? Lega gak?” ucapannya langsung dibalas anggukan oleh Rega,

“Ga, lo hebat banget bisa nanggung semuanya sendiri, disini mereka tuh cuman bersikap baik sama lo, biar lo ga pusing sendirian, dan mereka juga pasti gue yakin perang batin Ga kalo mereka ga nanya lo kenapa, atau ga ngedengerin lo, mereka takut lo jadi nanggung sendiri semua bebannya, dan mereka juga jadi ngerasa bersalah pasti,” Dellena mengucapkan semua kalimatnya seraya memainkan rambut hitam legam Rega,

“Lo boleh kok kesel atau gimana, tapi jangan sampe juga malah nyakitin orang lain ya Ga, inget. Sekarang kalo mereka nanya, yaudah lo jawab aja apa yang lo rasain, tapi jangan berharap kalo mereka bakalan ngasih solusi,”

Regapun tersenyum, lalu mencubit pipi gadis yang berada dipangkuannya saat ini dengan gemas, “Lo emang the best, Le,”

“Aw aw iya iya ampun ampun maap,”

“Lo kira gak sakit apa dicubit gitu kebiasaan banget sih,” ucap Dellena seraya berdiri dari duduknya dipangkuan Rega,

“Aduh merah nih pasti,” ucap Rega seraya mengusap lengan bagian atasnya yang tadi menjadi sasaran kemarahan Dellena,

“Rasa-,” ucapan Dellena langsung terhenti karena terkejut dengan dekapan Rega yang tiba-tiba,

“Lo emang bener-bener obat risau gue ya, Le,” Rega mengeratkan dekapan tubuhnya dengan Dellena,

Dellena mengusap punggung laki-laki yang mendekapnya itu, “Dangdut deh lo,” ucapannya membuat dirinya dan Rega tertawa,

Membuat malam mereka semakin panjang dengan diisi cerita keluh kesah mereka sepanjang minggu ini,

Jangan ambil senyumnya tuhan, hamba rela menggantinya dengan apapun yang hamba punya asal senyumnya selau tercetak disana, ucap seseorang dengan mata memujanya kepada seseorang yang berada didepannya saat ini,