kisah anak tengah; takdir.

Hujan yang sedari sore membasahi kota tempat mereka tinggal kini telah berakhir, saat ini memang waktu tengah menunjukkan hampir pukul tujuh malam tepatnya, sehingga hiruk pikuk belahan kota Jakarta yang mereka tempati semakin terasa hingar bingarnya dan tentu juga terlihat semakin padat didaerah jalanannya, karena mengingat bertepatan juga dengan waktu jam pulang mayoritas kantor disana,

“Udah kelar?” ucap seorang laki-laki berhoodie hitam kepada kedua laki-laki lainnya yang berada didalam mobil yang sama dengannya,

“Bentar, dikit lagi,” balas laki-laki yang tepat disampingnya, dibelakang roda kemudi mobil itu, seraya menyuap satu sendok penuh nasi sisanya untuk yang terakhir kalinya,

Sedangkan seseorang lainnya yang berada dibangku penumpang belakang, telah memberikan piring kosongnya kepada laki-laki berhoodie hitam didepannya, dan telah bersiap menyalakan rokok yang telah dihimpit oleh kedua jarinya itu, menyalakan korek berwarna putih yang ia telah siapkan, lalu segera membakar gulungan tembakau yang telah ada dihimpitan jarinya itu.

“Ay, bagi kek, rokok gue abis, lupa beli tadi,” laki-laki dengan kulit sedikit lebih terang dari sang empu yang tadi ia tegur mengalihkan pandangannya kearah saudara laki-lakinya yang berada dikursi penumpang dibelakangnya itu, Aidan Zavier, berdecak sebal seraya memberikan bungkus rokok berwarna putihnya kearah depannya,

“Beli kek, alesannya lupa beli mulu,”

“Yaelah, pelit banget, orang cuman sebatang,” “Entar gue balikin,”

“Sebatang-sebatang kalo tiap hari selama seminggu, ya miskin gue,”

“Ya kalau gak mau miskin, gak usah ngerokok,” laki-laki berhoodie hitam yang baru saja masuk kedalam mobil itu, setelah memberikan piring kotor bekas mereka makan, langsung bergabung kedalam lingkaran obrolan keduanya, yang membuat keduanya juga langsung terdiam, “Cih, langsung pada diem kan lo,”

“Ya gimana, mau nyalahin juga, ada benernya,” Aidan menghirup dengan dalam gulungan tembakau yang ada ditangannya itu, “Gila dah, macet banget,” ujarnya seraya menatap jalanan besar yang ada disampingnya yang terhalang beberapa pohon yang sengaja dibuat oleh pemerintah sekitar untuk membatasi wilayah pelataran pertokoan yang sedang mereka tempati, dengan jalanan besar didepannya,

Arvel Julian, dan juga Domicia Julian, kedua laki-laki yang berada didalam mobil yang sama juga ikut mengalihkan pandangannya kearah yang saudara laki-lakinya maksud itu, “2-3 tahun lagi kita bakalan ada disitu, jam segini, sambil ngeluh atau ngumpat jalanan macet,” ucap Arvel kepada kedua saudaranya, seraya mengepulkan asap yang diakibatkan oleh gulungan tembakau yang ada ditangannya,

“2 tahun lagi ya, lulus, terus kerja,”

Aidan yang mendengarkan ucapan Domicia itu langsung menggelengkan kepalanya, “Cepet banget ya, padahal baru aja kemaren gue berantem sama si mas Kegan gara-gara rebutan sepeda,”

Domiciapun tersenyum miring, kala memori diotaknya juga ikut berputar, “Gue juga, kayanya baru kemarin gue ngadu sama mas Daven kalau ini anak satu ngambil leggo gue,” ucapnya seraya memukul pelan bahu laki-laki yang memiliki raut wajah hampir sama dengannya,

Arvel julian, tersenyum pula, “Tapi sekarang lu pada udah punya adek banyak ada 8,”

“Malu kalo apa-apa masih ngadu,”

“Malu juga kalo apa-apa rebutan,” “Kadang lo mikir gak sih, kita bisa gak ya jadi kaya para mas itu?”

ucapan Aidan berhasil membuat kedua saudaranya terdiam dengan pikirannya masing-masing,

“Kalau lo nanya gue, udah pasti jawaban gue gak bisa,” suara bariton sedikit serak itu membalas ucapan saudaranya, “Dan gak akan bisa sehebat mereka sih, ya gila aja, pendidikan oke, karir jalan mulus, menanjak, gue jadi mereka? Udah mati duluan kali,” ucapnya setelah meneguk air mineral disampingnya, dan mematikan rokok yang telah habis ia hisap,

“Kalau kata gue, gak ada yang bisa gantiin mereka, dan gak ada yang bisa sehebat mereka juga. Peran kita tuh cuman perlu bertahan, dan nerusin apa yang mereka udah tanemin ke adek-adek kita, syukur-syukur bisa nambahin yang baik dah. Inget kata mas Rama kan, tugas kita menggantikan dan membantu peran para mas saat mereka kewalahan,”

ketika kedua saudaranya telah mengeluarkan pendapatnya, satu orang yang berada tepat dibelakang mereka hanya menghisap gulungan tembakau dihimpitan jarinya, lalu membuang kebulan asap yang dihasilkan secara perlahan, mengingat dengan baik semua kalimat yang diberikan oleh para mas tertuanya, dipejamkannya matanya itu dengan perlahan, mendengar dengan samar satu rangkaian kalimat yang selama ini ia pegang dengan amat sangat baik,

Selain jaga para adik kita yang paling kecil, kita juga punya tanggung jawab buat ngejaga keselamatan seluruh anggota keluarga ini, nerusin apa yang udah dilakuin papih buat keluarga ini, buat dia diatas sana bangga karena didikannya jadiin kita perisai penggantinya dia,”

“Udah mau jam setengah 9, balik udah,” ucapan Domicia menghamburkan lamunan seorang Aidan Zavier, “Gue telfon mas Kegan dulu,”

“Gausah tadi gue udah ngabarin dia kok kita dimana,”

Dan ketiganyapun membelah kota Jakarta yang semakin ramai, dengan pikiran mereka yang belum selesai juga akibat pembicaraan yang Arvel Julian awali,

tanpa mereka sadari, mereka telah menjadi apa yang banyak orang harapkan, menjadi ditengah, membuat mereka sedikit demi sedikit menjadi sosok pribadi yang kuat, seperti para mas mereka yang mereka banggakan itu.