kisah anak tengah; keadaan.
Langit didepan keempat laki-laki yang tengah duduk menatap kearahnya itu mulai berganti warna menjadi jingga kemerahan, kini saatnya matahari perlahan-lahan menghilang dibawah garis cakrawala dibagian sebelah barat bumi yang mereka pijaki, keempat laki-laki itu terpanah akan pemandangan yang berada didepan mereka,
Setelah perlahan matahari menghilang, suara dengusan panjang terdengar diantara keempatnya, “Lo semua udah yakin sama pilihan lo?”
“Pilihan?” “Pilihan apaan?”
“Pilihan jurusan univ,”
Ketiga laki-laki lain disampingnya itupun beroh ria, menanggapi ucapan dari saudara laki-laki mereka, yang memiliki kedua bentuk mata bak bulan sabit, ketika ia tersenyum itu,
“Gue jujur ya...” “Jujur,” “Masih bingung,” ucap laki-laki lain berhoodie mint, yang duduk tepat disamping laki-laki pemilik mata bulan sabit, yang garis wajahnya hampir sama dengannya itu
“Kalau gue sih udah yakin,”
“Lo sejak kapan sih Fand mau jadi dokter gitu,” tanya laki-laki pemilik mata bulan sabit itu kepada saudara laki-lakinya yang masih lengkap memakai atribut wajib sekolah mereka, Affandra Haris.
Affandra tersenyum singkat, sebelum akhirnya menghembuskan napasnya perlahan, “Waktu SD, waktu gue ada pr suruh nyeritain cita-cita gue, dan yang ada dipikiran gue saat itu cuman dokter,”
“Gak berubah sama sekali?” ucapan dari seseorang berhoodie mint, langsung dibalas gelengan kepala oleh Affandra, “Kenapa?” ucap laki-laki berhoodie mint itu lagi, Aydan Samudera, semakin penasaran kala saudara laki-lakinya itu terdiam, lalu menghembuskan napasnya lagi, “Kenapa anjir fand?”
“Sabar gila,” helaan napas keluar dari mulut sang empunya, “Karena udah janji sama yang diatas,” ucapnya melihat kearah langit yang telah menggelap itu,
“Hah?” “Tuhan?” ucap laki-laki bermata bak bulan sabit dengan wajah bingungnya, Edhan Samudera.
“Tolol,” suara itu bukan dari ketiga orang yang sedari tadi berdialog, bukan, tapi dari satu orang yang sedari tadi memilih diam menikmati langit yang berganti warna, “Bukan tuhan, Edhan Samudera,”
“Lah?” “Terus apaan”
“Nyokap.” singkat, tetapi bermakna, membuat kedua orang yang sedari tadi mewawancarainya terdiam, “Gue udah kepalang janji sama nyokap, kalau gue mau jadi dokter, gue gak mau dia disurga ngeliat gue tiba-tiba ganti jadi hal lain,”
Edhan menghela napasnya, ia sama sekali tidak bermaksud membawa kenangan saudaranya itu, “Kalau lo yo, sejak kapan lu jadi pengen jurusan musik? Bukannya waktu itu lo mau IKOM?”
“Hmm, sejak gue nemuin foto bokap sama bandnya waktu kuliah kali ya, kaya seakan-akan bokap tuh nyalurin darah musiknya ke gue, terus pas gue nanya mas Kayvan dia bilang bokap dulu pernah cerita kalo dia mau banget aktif dibidang musik, tapi gak bisa, karena gak dibolehin sama eyang,” Basudeo, mengakhiri ucapannya itu dengan sedikit terkekeh, “Akhirnya ya sekarang, gue ngotot banget mau masuk musik, dan jadinya juga gue makin cinta dan asik banget rasanya ngejalaninnya,”
Kedua saudara mereka yang lainnya hanya menatap satu sama lain, pasalnya keduanya benar-benar bingung akan pilihannya kedepannya bagaimana,
“Selain mikirin kita, ada 3 orang lain juga ya yang kita pikirin”
ucapan Basudeo langsung menghamburkan seluruh lamunan dari keduanya itu, mereka langsung menatap kearah saudara laki-lakinya itu,
Basudeo tersenyum seraya menatap langit diatasnya, “Dulu, gue cuman perlu nyontoh para mas gue doang, cuman perlu niruin apa yang para mas gue kasih, dan apa yang gue mau ya ada gitu,”
“Tapi sekarang lo mesti mikirin tindakan lo tepat gak buat diliat sama mereka, tindakan lo kira-kira bakal mereka contohin apa gak,” “Dan itu semua kita mesti pelajarin secara tiba-tiba,”
Edhan terseyum singkat, “Tanpa ada aba-aba, kita berempat harus mempelajari apa yang selama ini dijalanin sama para mas kita,” Edhan menjetikkan jarinya, “Dalam waktu singkat,”
“Tapi bisa kan?” “Bukti nyatanya, sampai saat ini itu anak dua gak aneh-aneh,”
Edhan, Basudeo, dan juga Affandra mengangguk singkat seraya tersenyum, kepada Aydan yang mengucapkan kalimat tadi,
“Tapi kadang lo suka kangen gak sih, maksudnya disaat semua perhatian tertuju sama lo, lo cuman tinggal nyontohin kelakuan mas lo tanpa harus mikir apa kelakuan bodoh yang gue lakuin hari ini yang bisa aja diliat orang lain, gitu loh, paham gak sih?” Affandra mengucapkannya dengan sedikit bernada kesal disana,
“Iye paham paham, gausah ngegas,”
“Tapi ya mau sekangen apapun juga ya, Fand.” “Kita gak bisa muter waktu dimasa itu,”
Semuanya menganggukkan kepala mereka perlahan, keempatnya larut akan kenangan mereka masing-masing dengan gambaran keluarga mereka yang masih lengkap, tidak kurang satupun,
“Tapi gue bahagia sama apa yang gue punya sekarang, dulu waktu gue masih jadi orang mencontoh, gak ada tuh pride apa-apa, tapi sekarang anjir, jujur kaya ngeliat Alesh dan Anesh yang bersikal gentle dan lembut sama Dayana, atau sikap mereka berdua yang sopan banget sama para bi dan pak dirumah tuh kaya bikin gue bangga banget gituloh,” ucap Basudeo menggebu, dengan senyuman lebar yang ia cetak diwajahnya,
ucapan Basudeo dibenarkan oleh ketiga saudara laki-lakinya yang lain, setidaknya saat ini mereka bahagia dan mempunyai kebanggaan atas diri mereka,
Aydan tersenyum, yang langsung dibalas tawa oleh ketiga saudara laki-lakinya itu,
mungkin sedari awal mereka dipaksa oleh keadaan, tetapi lama kelamaan karena keadaan pula, mereka terbiasa akan semuanya.