ini tentangnya.


Laki-laki dengan turtle neck hitam dipadu dengan celana coklat mudanya itu menatap dengan lembut perempuan berambut hitam legam disampingnya, memuja penampilan disampingnya ini dengan sempurna, menelusuri lekukan demi lekukan wajah yang selama beberapa bulan ini telah menemaninya,

Sang perempuan menengokkan kepalanya, lalu tersenyum dengan lembut, “Aku cantik ya?” ucapnya dengan nada riang seraya tersenyum menampilkan deretan giginya kepada laki-laki disampingnya,

Laki-laki disampingnya itu hanya tersenyum dan mengelus dengan lembut puncak kepala sang perempuan, “Semua perempuan itu cantik Arshen,” ucap sang laki laki dengan lembut, Aidan Zavier Kentara langsung menatap kearah hamparan danau didepannya itu,

“Aku mau deh kamu manggil aku cantik, jadi bukan nama kontak aku aja yang namanya si cantik,”

“Kan itu kamu yang ganti,”

“Ya iya tau Aidan, maksudnya aku juga mau gitu kamu panggil cantik, kamu jarang banget muji aku, kaya aku suka nanya aku bagus pake a atau b kamu selalu jawabnya cocokkan blabla bukan cantikkan blabla gitu loh,” Arshena mengucapkan seraya merenggut dibuatnya,

Aidan yang mendengarkan hanya bisa tertawa kecil seraya mengeratkan lagi rangkulannya dipinggang perempuannya itu.

Tanpa perempuannya ketahui, Aidan sudah selalu memuja dengan penuh suka cita paras cantik perempuannya itu, setiap harinya, seluruh kegiatannya dipenuhi dengan paras cantik perempuannya, pada layar depan handphonenya terpampang jelas paras cantik perempuannya itu, layar laptopnya, meja kantornya, dan juga dompetnya yang selalu ia bawa dan sering ia buka tak ada satupun yang tidak ada paras cantik perempuannya itu, Aidan memuja, sangat memuja kecantikan perempuannya

“Aidan kamu sayang aku gak?”

Pertanyaan itu terus terulang sejak awal mereka menjalin hubungan, pasalnya memang seorang Aidan sunggu jarang sekali mengatakan cintanya pada perempuannya itu, Aidan tersenyum, lalu memegang pundak perempuannya hingga menghadap menatapnya, ia tersenyum kala dihadapkan dengan jelas paras perempuan yang selalu ia puja itu, “Cantik, kenapa nanya gitu terus? Kenapa nanya aku sayang apa gak sama kamu terus, Kan udah jelas kalau aku tuh sayang sama kamu, gak perlu diraguin lagi, gak perlu ditanyain lagi, kalau aku gak sayang sama kamu, aku gak akan disini, gak akan bareng-bareng sama kamu, gak akan ngelus kepala kamu, ngerangkul pinggang kamu, nyium kamu, dan aku juga gak akan sampe ngenalin kamu ke temen-temen aku, ke Cia dan Arvel yang notabenenya orang yang tau aku banget, gak akan aku kaya gitu kalo bukan karena aku sayang sama kamu, paham kan sekarang?”

Perempuanya tersenyum riang, dengan menampilkan deretan giginya, dan sedikit lesung pipi yang perempuannya punya, Aidan yang melihat itu langsung merangkum tubuh mungil perempuannya, dan mencium puncak kepalanya.

“Aku sayang kamu, Arshena, sangat.”*


Aidan tersentak kala ia merasakan guncangan cukup keras pada tubuhnya, “Shit.” ucapnys secara spontan.

“Bangun anjir, lo dari tadi tidur kaya simulasi mati, dipanggi lo sama mas Kayvan,” Kegan mengucapkannya dan langsung berlalu meninggalkan Aidan.

Aidan membeku, masih memproses yang baru saja ia alami, setelah hampir 3 tahun ini ia sudah cukup tenang dan tidak terbayang oleh mendiang kekasihnya itu, hari ini, ia melihat perempuannya lagi, dengan pakaian favoritnya, dan ditempat favorit mereka. Aidan berdecak frustasi seraya mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan karena tidurnya tadi, pikirannya berkerja dengan cepat, menghubungkan beberapa kejadian belakangan ini yang ia lalui dengan mimpinya itu,

“Apa gue harus nemuin Dira sama Arshen? Arghh emang anjing nih pacaran pacaran palsu,” ucapnya pada dirinya sendiri,

“AIDAN ANJIR DIPANGGIL MAS KAYVAN!!”

“ARVEL JANGAN TERIAK!!”

“YA ABIS SI AIDAN LAMA!!”

Aidan mendengar teriakan yang berasa dari bawah lantai rumahnya dan langsung bersiap menemui kakak tertuanya itu.


“Terus kamu setuju buat ngejalanin drama cinta cintaan itu?”

“Ya si Aidan mah setuju setuju ajalah orang si Dira cakep gitu,”

“Arvel, mas Kayvan lagi gak ngomong sama lo,”

Aidan terkekeh sebentar, setelah beberapa tahun berlalu kini dirinya telah kembali pada dirinya yang sebenarnya, ia sangat berterimakasih kepada dua saudara didepanny ini, Arvel dan Domicia yang selalu mendampinginya, dan tentunya pada adik perempuan kecilnya yang tidak pernah tidak memeluknya setiap malam untuk mengeluarkan semua rasa sakit dan tangisan yang ia tahan setiap harinya.

“Aidan udah kenal Dira udah lama mas, dan Dira baik kok, Aidan ya kasian aja karena Dira terus diremehin sama Agency dan para staffnya, maybe hubungan ini bikin Dira jadi punya rasa percaya diri soalnya dia udah naikkin pamor agencynya gitu deh, Aidan gak bener-bener ngerti.”

Kayvan yang mendengarkan penuturan adiknya itu hanya mengagukkan kepalanya, tanda ia mengerti.

“Tapi lo baper juga kan sebenernya sama Dira? masih ada perasaan kan lo?” Arvel yang bertanya seperti itu langsung ditarik rambut kecoklatannya oleh Domicia, dan langsung dipukul punggungnya oleh kembarannya itu, “ANJING, SAKIT CIA!!! KDRT!!”

Sementara kedua saudaranya itu tengah beradu mulut yang ditengahi oleh kakak tertuanya, Aidan Zavier tenggelam dengan pikirannya, akibat pertanyaan yang tidak disangka ia akan terima dalam waktu ini.

Ketika sang Tuan hendak memilih pergi untuk bertemu Mona yang lainnya, mengapa sang Nona seakan tidak rela untuk melepaskan? Nona, bukankah Tuan juga berhak bahagia?