fourteenth chapt. -

Suara ketukan pintu menginstrupsi seorang Davendra yang sedang berada disambungan telfonnya,

Can I come in?” suara halus terdengar sedikit takut bersamaan dengan kepala yang menyembul masuk sedikit melihat kedalam ruangan,

Yayaya, I'll call you in a hour, ok? Yeah I know, I know, talk you later,” ucap Davendra lalu menutup telfonnya dengan managernya itu,

Davendra menatap seseorang yang berada didepannya, telah rapih dengan baju santai rumahnya, “Ada apa?” ucapnya sedikit dingin, walau tidak bermaksud untuk demikian,

Orang yang ditatap Davendra terlihat salah tingkah, dan kikuk, matanya terus menatap kearah jempol kakinya, ia berdehem pelan, “Soal tadi malam mas, Deo...” ucapannya terhenti, ia sangat takut jika kakak sepupunya itu akan marah dan malah bertanya mengapa ia melakukan hal seperti tadi malam,

“Deo, kamu laki kan?” ucapan Davendra sukses membuat seorang Basudeo menengadahkan kepalanya kearah manik mata Davendra,

“Dari dulu, mas Rama, mas Kay dan mas Daven kan bilang, kalau ngobrol sama orang itu lihat matanya, mau kamu dalam keadaan salah atau enggak, lihat matanya. Itu nunjukin kalo kamu emang niat ngobrol sama orang itu, dimata kamu bakalan keliatan kalo kamu jujur dan serius atau enggak, ngerti kan?”

“I-iya mas, maaf,” Deopun menatap manik mata Davendra sesaat sebelum matanya memejam beberapa detik lalu menghela napasnya perlahan, “Deo mau minta maaf soal tadi malam mas, Deo bener-bener gak bermaksud buat ngomong kurang ajar kaya tadi malam, Deo minta maaf untuk itu semua, gak seharusnya Deo ngomong kaya tadi malam,” ucapannya terhenti, Deopun menghela napasnya lagi dan memejamkan matanya, ia tidak berani sebenarnya ditatap intens oleh Davendra dan kedua abang tertuanya yang lain, karena menurutnya ketiga abangnya itu memiliki aura yang mengintimidasi, sama seperti Byantara, Kegan, Aidan, Domicia, Edhan dan juga Aydhan, bahkan terkadang Affandrapun seperti itu, tapi lain ceritanya dengan ia, Arvel dan juga dua kembar bontot itu,

“Maafin Deo ya mas,” ucapnya mengakhiri kalimat panjangnya dengan perlahan dan lemah, seraya menyorotkan rasa penyesalan dari tatapannya,

Davendra menatap Deo dengan manik matanya menelusuri sesuatu, setelahnya ia mengeluarkan ke empat map yang memang sebenarnya sudah ia persiapkan sejak beberapa bulan lalu,

Royal college of music, Berklee college of music, Manhattan school of music, and the last one,” ucapan Davendra tertahan seraya ia melihat map terahirnya, “The place where I and your mas Rama get our double degree, The Juilliard school,” ucap Davendra seraya tersenyum kearah Basudeo,

Basudeo terpaku, matanya tidak berpaling dari keempat map yang ditunjukkan oleh Davendra, kakinya secara spontan berjalan mendekat kearah meja kerja yang berada didepannya, “Mas ini...”

Davendra mengangguk, “Kalau emang kamu mau sama sesuatu, kejar terus, sampe dapet, gak usah dengerin apa kata orang, yang penting pilihan mu itu benar dan buat kamu bahagia, ya terusin, walau ada orang yang bilang kamu gaboleh atau kamu gak bisa, buktiin sama orang itu kalo kamu tuh pantes dapetin itu, biar orang itu ngerti. Kamu buat orang itu ngerti, bukan malah kamu yang dibuat mengerti sama orang itu.”

“Kalau kamu mau jurusan musik, silahkan, mas ngelarang kamu kemarin ngambil jurusan musik, karena mas mau kamu mempertimbangkannya lagi, mungkin itu cuman keinginan sesaat kamu, kaya mas gendeng mu satu itu, so soan mau ngambil jurusan kuliah perfilman tapi ternyata cuman sesaat aja, mas cuman takut kamu belum bisa bedain mana ketertarikan sesaat dan mana passion kamu beneran. Tapi ternyata? Kamu sampe semarah itu tadi malam, padahal seorang Basudeo jarang kan kaya gitu,”

Deo tak bisa berkata-kata, lidahnya kelu kala ia telah mendengarkan semua penjelasan dari abangnya itu, ia robohkan seluruh rasa gengsi dan juga malunya, “Mas makasih ya,” ucapnya seraya mendekap erat seorang Davendra,

Setelah beberapa tahun lamanya, baru kali ini seorang Davendra merasakan dekapan hangat orang lain selain orang yang memang menjadi partnernya dalam percintaan, “Kalau ada apa-apa itu ngomong Deo, jangan dipendem sendirian, kalau mau apa-apa itu usahain Deo, jangan baru sekali kena hantaman langsung nyerah gitu aja, kamu gak akan tau hasilnya berhasil atau enggak kalau kamu gak nyoba,”

Deo menganggukkan kepalanya didalam dekapan seorang Davendra, ia terlalu malu untuk menampilkan wajahnya, sedangkan Davendra hanya bisa terkekeh seraya mengusap punggung adiknya itu secara perlahan,

“Perasaan nih ya, yang abang kandungnya tuh gue dah, ini kenapa peluk-pelukannya sama si kutu kupret,” suara seorang Kayvan menginterupsi suasana haru yang dirasakan oleh Davendra dan Basudeo,

“Lo tuh emang suka banget ganggu moment orang ya?”

Basudeo melepaskan dekapannya terhadap Davendra, “Lo bau abisnya, makanya gue gak mau peluk-peluk,” ucap Basudeo asal kepada Kayvan yang langsung dibalas tatapan tajam oleh sang empunya,

“Ini kamu tinggal ngasih essay kamu aja ke website mereka,” ucap Davendra seraya mengusap surai kecoklatan milik Deo dan langsung berlalu meninggalkan kedua kakak-beradik itu,

“Mas....” panggil Deo dengan suara sedikit takutnya lagi, walaupun tadi sudah sempat bercanda dengan kakaknya itu, tapi sebenarnya ia masih takut untuk menghadapi ketiga abang kandungnya yang 11 12 dengan algojo itu,

“Mas maafin, karena tadi malam mas juga salah emosi sampai main tangan, padahal mas udah janji sama kalian, kalau soal main tangan itu urusan mas Rama, jadi yaudah anggap aja impas,”

Deo menganggukkan kepalanya, ia paham watak abangnya yang satu ini, sangat susah mengucapkan maafnya apalagi jika memang ia melakukan itu karna sebab yang memang dibuat oleh Deo,

“Tapi janji buat gak ngulangin lagi, inget sama perjanjian kita Deo,” ucap Kayvan seraya menatap manik mata coklat gelap didepannya, “Dan kamu jangan seneng dulu, yang maafin kelakuan kesetanan kamu tadi malem itu cuman baru mas dan mas Daven doang, mas mu yang lain belum tentu akan sama,”

ucapan Kayvan berhasil membuat Deo lemas, harinya akan berlalu sangat panjang mendengar seluruh ceramahan serta mungkin makian dari para masnya itu, “Semangat, jadi laki gak boleh lemah dan harus tanggung jawab sama semua yang diperbuat,” Kayvan mengucapkannya seraya menepuk bahu kanan Deo, dan berlalu meninggalkan adiknya itu sendirian disana,

“Yok semangat Deo yok, bisa bisa,” ucap Deo kepada dirinya sendiri, “Bisa gila,”