chapt. twenty-six -

Byantara menaruh semangkuk mie ayam bikinannya didepan Arvel yang baru saja duduk dimeja makan keluarga Kentara itu,

“Aidan mana, Vel?” Davendra langsung menghampiri Arvel yang sedang membubui mangkuk mie ayamnya dengan Kegan dan Byantara yang telah menyantap mie ayam mereka terlebih dahulu,

“Di atas mas, ntar gantian sama gue,” ucap Arvel yang langsung mengaduk semua isi dimangkuk didepannya itu,

“Mas ke atas ya,” Davendra dengan cangkir putih digenggamannya, dan segera berlalu setelah menepuk dengan pelan bahu Arvel, Kegan dan juga Byantara secara bergantian,


Domicia sedikit terkejut kala bahunya tiba-tiba sedikit berat terasa kain selimut yang biasanya dipakai oleh ibunya untuk menenangkannya tersampir dibahunya, “Thanks mas,” ucapnya setelah menangkup cangkir putih bergambar kelinci setelah tadi tiba-tiba cangkir itu berada dihadapannya, ia sudah tau dan sangat hapal dengan tangan yang memberinya cangkir putih tersebut, bagaimana tidak, ia sangat hapal dengan tangan yang tersampir sebuah gelang merah seperti kain rajut dengan liontin huruf “TM” ditengahnya, yap, bagaimana ia bisa lupa dengan gelang yang biasa mendiang ibunya pakai, dan sekarang memang selalu dipakai kemanapun oleh kakak tertuanya itu,

“Padahal enakan susu kurma dingin,” ucapan Davendra menghamburkan lamunannya tentang kedua orangtuanya itu,

Domicia tersenyum seraya menyesap minumannya itu, “Bener ya mas, kata banyak orang, makin kita dewasa tuh ada banyak hal dihidup kita yang harus kita ikhlasin dan di-gapapa-in,”

Davendra menganggukkan kepalanya, “Lebih baik kita ikhlasin, daripada kita harus kehilangan diri kita dan malah jadi beban buat ngelangkah kedepannya,”

Domicia terdiam, lidahnya kelu, matanya mulai memupukkan buliran air dipelupuknya,

“Walaupun banyak yang bilang hasil gak akan mengkhianati usahanya, tapi tetep aja apa yang kita anggap terbaik, apa yang kita anggap suit us well, belum tentu juga dianggap kaya gitu sama semesta dan tuhan, kadang udah usaha sampe mampus pun, kalau bukan jalannya ya bukan,”

Tangis seorang Domicia pecah ketika Davendra mengakhiri ucapannya, dirinya membeku kala tangan seseorang disampingnya merangkum tubuhnya, ntah mengapa rangkuman kedua tangan yang saat ini merangkum tubuhnya sehangat yang dia inginkan, sehangat yang pernah ia rasakan dulu sewaktu mendiang ibunya masih bisa bebas memeluknya,

“Cia kangen mommy mas,” ucapnya tersedu dengan semakin menenggelamkan kepalanya lebih dalam untuk dirangkum oleh laki-laki yang terpaut jauh umurnya dengannya,

Ingin sekali Davendra berteriak mengatakan hal yang sama, tapi ia terus menahannya, karena tidak mungkin ia melakukannya didepan adiknya yang seperti ini, tidak saat adiknya sedang kecewa akan dunia yang biasanya berpihak kepadanya, tidak saat hal yang selalu adiknya impikan harus terkubur dalam dalam, tidak, tidak saat ini.

Apalagi ucapan Rama, padanya dan Kayvan sepuluh tahun lalu juga selalu terputar dikepalanya, “Dari mulai detik ini, kita adalah batu, yang harus kokoh dan tetap berdiri walaupun apapun menerpa, kita baja pelindung, kita naga yang melindungi istananya,” ucapan itu terus terulang hingga kepala sang adik mulai timbul dipermukaan,

“Mas, Cia egois gak sih, kalo masih tetep maksain dicambridge padahal udah ditolak beasiswanya?” ucapan Cia langsung dibalas senyuman oleh Davendra,

“Enggak, lagian ngapain sih kamu beasiswa segala? Kuliah sekarang beasiswa, cambridge juga ngambil beasiswa, dikira para mas mu gak bisa gitu biayain kamu?”

Domicia terkekeh kala mendengar jawaban dari masnya itu, “Kalo gue dapet beasiswa tuh ada kebanggan tersendiri mas, ya walaupun banyak yang ngecap anak beasiswa itu down class tapi tetep aja, kalo beasiswa tuh berarti gue ngandelinnya otak, bukan fisik,” ucapannya langsung dibalas usapan acak dikepalanya oleh laki-laki yang sekarang sudah berpindah duduk disampingnya itu, didaerah balkon didepan kamarnya itu,

“Tapi mas,” ucapannya terhenti sebentar, sehingga membuat seorang Davendra langsung mengalihkan pandangannya kearah adiknya itu,

Davendra tersenyum kala melihat adiknya itu berpikir, ia paham apa yang saat ini dipikirkannya, ia juga paham apa yang akhir-akhir ini sedang berperang dalam dirinya, “Semua keputusannya itu ada di kamu, kamu maunya gimana, ya itu terserah kamu, kamu yang bakal jalanin, kamu yang bakal lakuin semuanya, jadi ya terserah kamu,”

Domicia tersenyum mendengar jawaban dari masnya itu, dirinya semakin mantap akan pilihannya, iapun langsung tersenyum lebih lebar dan melihat kelangit diatasnya itu,

“Jadi?”

“Cia milih Arvel, kemanapun Arvel pergi Cia bakal ikutin, bodo amat mau dibilang annoying atau apa kek pokoknya ikut Arvel,” ucap seorang Domicia dengan keyakinannya,

Davendra yang mendengarnya hanya bisa tertawa sedikit karena ia merasa seseorang disampingnya saat ini adalah bukan seorang remaja laki-laki berumur 19 tahun, tapi seorang anak laki-laki berumur disekitaran 5 hingga 7 tahun, dengan kaos biru bergambar kartun favoritnya, ya, seorang Domicia dengan segala pemikiran dewasanya masih menjadi seorang adik kecil dimata seorang Davendra, kakak tertuanya.